Berita Golkar – Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo, angkat bicara terkait demonstrasi besar-besaran yang terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Aksi protes ini dipicu kebijakan Bupati Sudewo yang menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen. Situasi kian memanas setelah pernyataan Bupati yang dianggap provokatif karena menantang masyarakat untuk melakukan demo.
Menurut Firman, insiden seperti ini mencerminkan lemahnya kemampuan kepemimpinan di tingkat daerah. Karena itu, ia mengusulkan agar setiap kepala daerah, baik yang sedang menjabat maupun calon kepala daerah, diwajibkan mengikuti pendidikan dan pelatihan kepemimpinan di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas).
“Pemimpin daerah bukan hanya dituntut punya program, tapi juga harus memiliki jiwa kepemimpinan, kemampuan komunikasi publik, dan kesadaran hukum. Pendidikan di Lemhannas dapat membentuk karakter itu,” tegas politisi senior Partai Golkar ini.
Ia menjelaskan, pendidikan di Lemhannas akan memberikan bekal menyeluruh, mulai dari keterampilan manajemen pemerintahan, pemahaman kebijakan publik, hingga etika kepemimpinan. Dengan bekal tersebut, kepala daerah diharapkan mampu membuat keputusan yang tepat tanpa menimbulkan keresahan rakyat.
Ia menegaskan, pendidikan di Lemhannas dapat menjadi solusi strategis untuk membentuk karakter kepemimpinan yang matang. Melalui kurikulum yang menekankan pada wawasan kebangsaan, integritas, dan etika politik, para kepala daerah akan lebih memahami pentingnya kolaborasi dengan wakilnya, menghormati batas kewenangan, dan mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan politik pribadi.
“Dengan bekal pendidikan di Lemhannas, para kepala daerah akan lebih siap menghadapi tantangan pemerintahan, lebih bijak dalam menyikapi kritik, dan lebih mengutamakan dialog untuk mencari solusi,” jelas Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini.
Lebih jauh, Firman menyoroti problem struktural dalam sistem politik daerah pasca-pilkada langsung. Sistem paket bupati dan wakil bupati yang dipilih bersamaan oleh rakyat, menurutnya, kerap menimbulkan konflik internal di tengah masa jabatan. Tidak jarang, wakil bupati berupaya menjatuhkan bupati demi menggantikan posisinya, atau sebaliknya, bupati meminggirkan peran wakilnya.
“Konflik seperti ini terjadi karena tidak ada pembagian kewenangan yang jelas, sementara kesadaran akan tugas dan tanggung jawab masing-masing masih rendah. Akibatnya, energi pemerintahan daerah habis untuk perebutan kekuasaan, bukan pelayanan publik,” pungkas Firman.