Firman Soebagyo Dukung RUU Komoditas Strategis: Hapus Stigma Negatif Tembakau

Berita Golkar – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Firman Soebagyo mengusulkan agar penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Komoditas Strategis yang melibatkan pakar kesehatan, akademisi, serta aktivis kesehatan. Ia menegaskan upaya ini krusial agar RUU ini bisa menjembatani kepentingan untuk melindungi rasa keadilan terhadap nasib rakyat dan risiko terhadap kesehatan.

Pernyataan ini dirinya sampaikan dalam agenda Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Baleg DPR RI dengan Paguyuban Pelopor Petani dan Pedagang Tembakau se-Madura (P4TM) dan Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI) di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Senin (27/5/2024). Ia menekankan RUU ini harus bebas dari stigma negatif bahwa komoditas strategis, salah satunya tembakau, merusak kehidupan bangsa.

“Kita perlu perluas (serap aspirasi RUU ini) dengan mengundang para akademisi, kalau perlu ahli dan aktivis kesehatan pun kita undang. Jika (pembatasan) tidak diatur, yang disalahkan hanya karena tembakau saja. Itu tidak adil. Ingat, kita juga perlu mensejahterakan para petani. Jadi, justru jangan dimatikan nasib mereka,” tutur Politisi Fraksi Partai Golkar ini.

Perlu diketahui, tembakau dinilai sebagai komoditas strategis yang dimiliki oleh Indonesia. Pasalnya, Indonesia merupakan negara penghasil tembakau terbesar keenam setelah Cina, Brazil, India, USA dan Malawi. Pada tahun 2023, menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), volume produksi tembakau bisa mencapai 238,8 ribu ton.

Akan tetapi, berdasarkan Buku APBN Kita edisi Januari 2024, disebutkan bahwa terjadi penurunan kinerja penerimaan CHT disebabkan oleh pemesanan pita cukai dan tarif realisasi yang rendah. Di mana, realisasi penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) senilai Rp213,48 triliun. Jika dibandingkan dengan periode 2022, capaian pada 2023 mengalami penurunan 2,35 persen.

Di sisi lain, nasib petani tembakau dihadapkan dengan ketidakpastian. Sebab, kebijakan pemerintah dan kondisi ekonomi terkini membuat hasil produksi tembakau tidak memiliki nilai tawar. Sebagai contoh, pabrikan melalui kuasa pembelian di wilayah Pamekasan selalu bersilat lidah mengenai kualitas tembakau milik petani yang berujung pada jatuhnya nilai beli tembakau.

Imbasnya, petani berangsur mengalami penurunan nilai pendapatan.  Padahal, biaya pengelolaan, pembelian pupuk dan obat terus membengkak. Tidak hanya itu, stigma negatif soal kesehatan kerap menerpa tembakau, akan tetapi pemerintah tidak hingga kini belum memberikan regulasi yang jelas dan lugas untuk mengatur antara kepentingan kesehatan dan kepentingan melindungi hak-hak petani.

“Ini kan masalah serius. Harapan kami, saya rasa RUU (Komoditas Strategis) ini merupakan media yang sangat strategis, yang melindungi petani dan menjaga keberlanjutan dari devisa negara, (yang berasal) dari komoditas strategis yang dipunyai Indonesia,” tandas politisi Fraksi Golkar itu. {sumber}