Berita Golkar – Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo, menyampaikan penyesalan mendalam atas pernyataan Menko Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar (Cak Imin), yang mengajak “Tobat Nasuha” dalam konteks bencana besar di Sumatera.
Sebelumnya Cak Imin mengaku telah mengirim surat kepada Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, dan Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurrofiq. Dalam surat tersebut, Cak Imin mengajak para menteri melakukan evaluasi total seluruh kebijakan terkait banjir bandang dan longsor di Sumatera, sembari menyebut ajakan itu sebagai bentuk “Tobat Nasuha” pemerintah.
Menurut Firman, ajakan itu bukan hanya tidak tepat, tetapi juga tidak mencerminkan empati yang seharusnya ditunjukkan pejabat negara dalam situasi duka nasional. Dalam tanggapannya, Firman menegaskan bahwa pemilihan kata oleh seorang pejabat publik memiliki dampak besar, terlebih ketika disampaikan di tengah tragedi yang merenggut nyawa dan memaksa ribuan warga mengungsi.
“Ini situasi duka. Yang dibutuhkan masyarakat adalah tindakan nyata, bukan pernyataan bernada candaan atau nasihat moral yang justru menyinggung rasa kemanusiaan,” ujar Firman.
Ia menilai, sebagai tokoh agama sekaligus Menko, Cak Imin seharusnya lebih memahami makna mendalam dari “Tobat Nasuha”. Pertobatan sejati yang di dalam ajaran Islam mengandung unsur pengakuan kesalahan, penyesalan, penghentian perbuatan buruk, serta tekad memperbaiki diri.
Karena itu, menurut Firman, penggunaan istilah tersebut tidak bisa diterapkan sembarangan. “Tobat Nasuha itu konsep serius dalam agama. Tidak elok jika dilontarkan di hadapan publik tanpa mempertimbangkan sensitivitas para korban,” tegas legislator asal Pati, Jawa Tengah ini.
Firman juga menyoroti pernyataan Cak Imin yang seolah menempatkan kerusakan hutan sebagai masalah yang harus segera ditanggapi oleh para menteri teknis. Ia menggarisbawahi bahwa kerusakan hutan yang berkontribusi pada bencana bukan muncul dalam hitungan bulan atau satu dua tahun terakhir.
“Kerusakan hutan ini sudah terakumulasi selama 15 sampai 20 tahun akibat kebijakan-kebijakan terdahulu. Jadi jangan seperti menyalahkan menteri sekarang seolah masalah ini baru muncul kemarin,” papar Firman yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI.
Sebagai tokoh senior Partai Golkar yang telah lama berkecimpung mengawasi sektor kehutanan, Firman menegaskan bahwa ia memahami betul dinamika dan tantangan di bidang tersebut. Ia mengingatkan bahwa para menteri seharusnya menunjukkan soliditas, bukan saling sindir atau lempar tanggung jawab dalam kondisi darurat kemanusiaan.
“Dalam suasana duka seperti ini, yang paling penting adalah fokus membantu Presiden menuntaskan penanganan korban, bukan membuka panggung untuk menyalahkan kolega di kabinet,” katanya.
Firman juga memberi catatan bahwa meskipun pernyataan “Tobat Nasuha” itu mungkin dimaksudkan sebagai candaan atau penekanan moral, tetap saja tidak pantas diucapkan dalam forum publik ketika bencana masih berlangsung.
“Bencana bukan ruang untuk retorika simbolik. Setiap kata pejabat negara di masa krisis adalah pesan bagi rakyat, dan karenanya harus disampaikan dengan empati,” imbuh Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini.
Firman menegaskan bahwa evaluasi kebijakan tentu penting, namun cara penyampaian seorang Menko harus tetap mengedepankan sensitivitas dan kebijaksanaan. Ia berharap peristiwa ini menjadi pengingat bagi semua pejabat agar lebih berhati-hati dalam memilih kata dan lebih fokus pada kerja lapangan.
“Rakyat sedang berduka. Yang mereka butuhkan adalah kehadiran, kebijakan konkret, dan aksi cepat pemerintah bukan justru mengeluarkan opini yang kontraproduktif terhadap kerja-kerja kemanusiaan yang sedang digalakkan. Dari situ lah kita bisa paham letak kebijaksanaan seorang pemimpin,” tutup Firman.













