Firman Soebagyo Sebut Pileg 2024 Paling Ugal-Ugalan: Program Aspirasi Ratusan Juta Kalah Sama Amplop Rp. 50 Ribu

Berita Golkar – Pemilu 2024 dipandang sebagai pemilu termahal dalam sejarah Indonesia, dengan banyak pihak mengkritik tingginya biaya politik dan fenomena “politik ugal-ugalan” yang marak.

Anggota DPR RI Fraksi Golkar terpilih, Firman Soebagyo, menyampaikan pandangannya mengenai kondisi ini dalam sebuah pernyataan pada Senin (29/7/2024).

Firman Soebagyo menilai bahwa Pemilu 2024 adalah yang paling mahal karena para calon legislatif (caleg) lebih mengandalkan uang daripada gagasan dan ide dalam kompetisi politik.

“Saya sebenarnya tidak tertarik untuk membahas ini, karena hal ini mengingatkan kembali pada kekecewaan dan sakit hati saya. Namun, kita perlu menjelaskan kepada publik mengenai realitas yang terjadi dalam Pemilu 2024 ini,” ungkap Firman.

Menurutnya, praktik politik uang atau “money politics” telah merajalela dan menjadi isu besar dalam pemilu kali ini. “Faktanya, money politics semakin liar. Bukan hanya caleg yang berhasil yang terpengaruh, tetapi juga kader-kader berprestasi yang tidak mendapatkan dukungan suara karena faktor uang,” tambahnya.

Firman Soebagyo yang terpilih untuk periode kelima menyebutkan bahwa banyak tokoh senior dan berprestasi, yang tidak siap dengan modal politik, terpaksa kalah dalam persaingan politik.

Ia menjelaskan bahwa dengan sistem pemilu suara terbanyak, para caleg dari partai yang sama saling berkompetisi untuk mendapatkan suara terbanyak.

Dalam proses ini, mereka cenderung mengoptimalkan kapasitas finansial mereka, menjadikan uang sebagai indikator utama dalam mendapatkan dukungan.

“Masyarakat lebih melihat uang daripada kualitas pemimpin. Seharusnya, pemilu bertujuan mencari pemimpin dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat tanpa mengedepankan aspek finansial,” ujar anggota Komisi IV DPR ini.

Firman juga menyatakan bahwa meskipun ia telah memberikan aspirasi berupa bantuan seperti traktor, combine harvester, dan sapi dengan nilai hampir ratusan juta rupiah tanpa meminta uang sepeser pun, tetap saja ia kalah di wilayah tersebut karena uang amplop Rp 20.000 dan Rp 30.000.

Dia mengkritik bahwa masyarakat yang telah didorong untuk mendukung kegiatan politik tertentu tidak lagi dihargai. “Jika money politics terus berlanjut, maka orang cerdas dan idealis akan kalah oleh pemodal yang didukung oleh kapitalis. Ini akan mengakibatkan kapitalis menguasai DPR, baik di tingkat daerah maupun DPR RI,” tegasnya.

Firman menyoroti kekhawatiran bahwa jika kapitalis menguasai DPR, legislasi, anggaran, dan pengawasan bisa diintervensi untuk kepentingan tertentu. “Ini tidak boleh terjadi,” tegasnya.

Ia berharap ada perbaikan dalam sistem pemilu ke depan. Firman meminta KPU untuk segera melakukan evaluasi dan memastikan pemilu yang brutal ini tidak terulang lagi. Ia juga berharap KPU dan KPUD dapat memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menghindari politik uang.

“Pemilu demokratis seharusnya adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, untuk mencari pemimpin yang benar-benar bisa memperjuangkan aspirasi rakyat,” tutup Waketum Partai Golkar ini. {sumber}