Firman Soebagyo: Tanpa Putusan MK, UU 18/2013 Sudah Lindungi Masyarakat Adat dan Lokal

Berita GolkarAnggota Komisi IV DPR RI yang membidangi kehutanan, Firman Soebagyo, menilai bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemberian ruang bagi masyarakat yang tinggal di kawasan hutan secara turun-temurun untuk berkebun non-komersial pada dasarnya sudah sejalan dengan semangat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H).

Menurutnya, perlindungan terhadap masyarakat adat dan masyarakat lokal yang hidup di kawasan hutan bukan hal baru, melainkan sudah diatur dengan jelas dalam undang-undang tersebut.

“Tanpa adanya putusan MK pun sebenarnya UU 18/2013 sudah mengatur tentang peran serta masyarakat, termasuk masyarakat adat dan masyarakat yang tinggal di kawasan hutan, dalam mengelola dan memanfaatkan hutan secara lestari,” tegas Firman, di Jakarta.

Ia menjelaskan, dalam ketentuan UU 18/2013, masyarakat memiliki hak-hak yang fundamental dalam pengelolaan hutan. Antara lain hak untuk mengelola hutan secara lestari, berpartisipasi dalam pengelolaan dan pencegahan perusakan hutan, serta memperoleh manfaat dari hasil hutan, baik berupa hasil non-kayu maupun jasa lingkungan yang mendukung kehidupan mereka sehari-hari.

“Undang-undang itu sudah menempatkan masyarakat sebagai bagian dari solusi, bukan pelaku pelanggaran,” ujarnya.

Politisi Partai Golkar yang juga Wakil Ketua Fraksi MPR RI ini menilai, putusan MK Nomor 181/PUU-XXII/2024 yang menegaskan pengecualian bagi masyarakat hutan non-komersial sebenarnya memperkuat prinsip yang sudah lama tertanam dalam kebijakan kehutanan nasional.

Lebih jauh, Firman menekankan pentingnya menyeimbangkan aspek keadilan sosial dengan prinsip kelestarian lingkungan. Ia menegaskan bahwa pengelolaan hutan oleh masyarakat tetap harus dilakukan secara bertanggung jawab, tidak menimbulkan kerusakan ekologis, dan mendukung keberlanjutan sumber daya alam.

“Kita harus memastikan bahwa masyarakat tetap mendapatkan ruang hidup, tapi dengan cara-cara yang menjaga keberlanjutan ekosistem. Pengawasan dan pembinaan di lapangan harus diperkuat,” tegas Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia ini.

Firman juga menyinggung bahwa melalui penguatan perhutanan sosial dalam Undang-Undang Cipta Kerja, masyarakat adat dan masyarakat lokal kini mendapat peluang lebih luas untuk mengelola hutan secara legal, produktif, dan berkelanjutan.

“Ini bentuk nyata keberpihakan negara terhadap masyarakat yang hidup di sekitar hutan. UU Cipta Kerja justru memperkuat akses dan hak kelola masyarakat, dengan tetap menekankan prinsip kelestarian,” jelas Wakil Ketua Dewan Pembina SOKSI, Firman Soebagyo.

Namun di balik apresiasinya terhadap langkah MK, Firman menyisipkan kritik tajam terhadap tren maraknya permohonan Judicial Review (JR) akhir-akhir ini. Ia menilai, banyak pihak tampak lebih sibuk mencari sorotan publik ketimbang membaca secara komprehensif isi undang-undang yang sudah berlaku.

“Kalau para pihak membaca dengan cermat, tanpa keputusan MK pun sudah jelas bahwa masyarakat diperbolehkan bahkan menebang pohon di hutan untuk kebutuhan hidup atau kegiatan sosial. Itu sudah dilindungi dan diatur dalam undang-undang,” ujarnya.

Dengan nada satir, Firman menambahkan, “Mungkin sekarang lagi tren Judicial Review. Kalau tidak ada JR, mungkin dianggap kurang keren. Tapi semoga saja itu bukan sekadar untuk mencari popularitas.”

Firman berharap agar setiap upaya hukum yang dilakukan terhadap undang-undang benar-benar berorientasi pada kepentingan rakyat, bukan sekadar sensasi politik atau agenda sempit kelompok tertentu. “Substansi hukum harus dibaca utuh, tidak sepotong-sepotong. Kita harus jujur pada tujuan utama, yaitu menjaga keseimbangan antara perlindungan masyarakat dan kelestarian hutan Indonesia,” pungkasnya.