Firman Soebagyo Usul Anggaran Cetak Sawah Dialihkan untuk Beli Lahan Produktif

Berita GolkarAnggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo, mengemukakan gagasan baru dalam upaya mewujudkan swasembada pangan nasional. Gagasan tersebut muncul setelah ia mencermati pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Nusron Wahid, yang mengungkapkan bahwa alih fungsi lahan sawah di Indonesia dapat mencapai 554.000 hektare per tahun.

Menurut Firman, angka tersebut menjadi peringatan serius bagi ketahanan pangan nasional. Ia menilai, di tengah laju alih fungsi lahan yang begitu tinggi, pendekatan lama berupa cetak sawah baru perlu dievaluasi secara mendasar.

“Kalau setiap tahun ratusan ribu hektare sawah hilang karena alih fungsi, maka cetak sawah baru akan selalu tertinggal. Kita perlu pola pikir baru yang lebih realistis dan langsung berdampak,” ujar Firman.

Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini mengusulkan agar anggaran cetak sawah baru dialihkan untuk membeli lahan pertanian produktif yang sudah memiliki irigasi teknis dan kemudian dikelola langsung oleh pemerintah. Menurutnya, langkah ini jauh lebih efektif untuk menjaga dan meningkatkan produksi pangan nasional.

Data Kementerian ATR/BPN menunjukkan alih fungsi lahan pertanian di Indonesia telah mencapai sekitar 554.000 hektare per tahun. Sementara itu, program cetak sawah baru kerap menghadapi berbagai kendala, mulai dari keterbatasan infrastruktur, persoalan lahan, hingga waktu yang panjang sebelum lahan benar-benar produktif.

“Cetak sawah itu ideal di atas kertas, tetapi di lapangan prosesnya lama, mahal, dan belum tentu langsung menghasilkan. Kalau pemerintah membeli lahan pertanian yang sudah produktif dan beririgasi teknis, hasilnya bisa langsung dirasakan,” tegas Firman yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI tersebut.

Ia menilai, pembelian lahan pertanian produktif justru dapat menjadi instrumen negara untuk mengamankan lahan pangan strategis dari ancaman alih fungsi. Dengan dikelola langsung oleh pemerintah, lahan tersebut dapat dipastikan tetap berfungsi sebagai sawah dan tidak mudah beralih menjadi kawasan non-pertanian.

“Negara harus hadir sebagai penjaga lahan pangan. Kalau lahan produktif dibiarkan mengikuti mekanisme pasar sepenuhnya, cepat atau lambat akan kalah oleh kepentingan non-pertanian,” ujar legislator asal Pati, Jawa Tengah ini.

Firman juga menekankan bahwa pendekatan ini memiliki sejumlah keuntungan strategis. Selain meningkatkan produksi pangan secara cepat, biaya pembelian lahan produktif dinilainya berpotensi lebih efisien dibandingkan biaya cetak sawah baru yang membutuhkan pembukaan lahan, pembangunan irigasi, dan penyiapan tanah dari nol.

“Dengan lahan yang sudah siap tanam dan sistem irigasi teknis yang berjalan, efisiensi produksi bisa langsung ditingkatkan. Risiko gagal panen juga lebih terkendali,” jelasnya.

Lebih jauh, Firman melihat pengelolaan langsung oleh pemerintah dapat memperkuat stabilitas produksi pangan nasional. Negara, menurutnya, bisa mengatur pola tanam, menjaga cadangan pangan, serta mengurangi ketergantungan pada impor.

“Kalau kita serius bicara swasembada pangan, maka kebijakan lahannya juga harus serius. Jangan sampai setiap tahun kita kehilangan sawah, tapi solusi yang kita pakai selalu tertinggal,” kata Firman.

Firman berharap gagasan ini dapat menjadi bahan pertimbangan pemerintah dalam merumuskan kebijakan pangan ke depan. Ia menegaskan, swasembada pangan tidak cukup hanya dengan slogan, tetapi membutuhkan keberanian untuk mengubah pendekatan dan menempatkan negara sebagai aktor utama dalam pengamanan lahan pertanian.

Leave a Reply