Berita Golkar – Sudah dapat dipastikan kata “olah” sedang banyak dikatakan oleh para kader Golkar belakangan ini menjelang 20 Agustus 2024. Istilah Olah ini diplesetkan sedemikian rupa aneka ragam, olah-mengolah atau industri pengolahan atau angin pun di olah atau tembok pun di olah.
Kata olah ini dipraktikkan rutin setiap ada perhelatan agenda politik partai dan merujuk kepada bagaimana seseorang “mengolah” seseorang lainnya untuk menjadi sebuah kesepakatan atau kerja sama menentukan agenda politik tertentu.
“Industri pengolahan” ini mengikuti prinsip supply and demand dalam pasar kepentingan dan didalamnya ada semacam tawaran dan penawaran tertentu, baik dalam hal kepentingan dan kemanfaatan, biasanya ujungnya transaksi. Itulah yang kemudian orang-orang atau publik menamakannya sebagai sebuah praktek “transaksional” dalam politik, bisa pertukaran kesepakatan atas kepentingan untuk menjadi sebuah kesepahaman kepentingan, posisi, kedudukan dan atau uang.
“Industri pengolahan” ini sebagai sebuah metode tawar menawar bisa dipakai untuk kepentingan-kepentingan sesaat yang pragmatis tapi sebenarnya bisa juga dipakai untuk melakukan bargaining power untuk mencapai kesetimbangan dalam sharing of power pada keadaan tertentu apabila rasanya ada sesuatu yang tidak berimbang.
Olah-mengolah atau “industri pengolahan” kini mengalami pendangkalan makna , hanya dimaknai dengan pertukaran nilai mata uang tertentu dan dalam relasi kuasa antara yang memiliki kepentingan dengan pemilik suara, tidak seimbang, seperti hubungan hamba dan sahaya, istilah populernya ya seperti dikatakan rakyat kebanyakan per hari ini dalam konteks politik elektoral, wani piro?
Harga pas tancap gas! kira-kira begitulah menyitir saru syair dari lagu Bang Iwan. Harga cocok kepentingan masuk, tidak lagi mau berdiskursus berpanjang lebar, bertekak urat pertahankan argumen dan mencari referensi teori dan sejarah.
Ya begitulah kira-kira, kini hampir semua kepentingan dalam “industri pengolahan” di arena politik diwarnai metode transaksional belaka, jarang yang ingin mempertukarkan ide, gagasan dan nilai lagi.
Partai Golkar pernah mengandaikan dirinya adalah sebuah Partai penuh Gagasan atau “Party of Ideas” Partai kader , kini hanyut dalam gemuruh manisnya elektoral, nomenklatur dalam struktur partai kini hanya seputar “penggalangan”, “pemenangan”, “opini” dan teritorial yang mengarusutamakan kemenangan elektoral teritorial jarang terdengar lagi nama Ideologi, Karya Kekaryaan dan Kaderisasi tak heran kini Partai Golkar seolah-olah hanya sekedar arena “industri pengolahan” sahaja.
Kini, ketika badai menghantam keras (memang bukan yang pertama) ini lanjutan seri penghancuran terhadap Partai Golkar selama kurang lebih 10 tahun terakhir, izinkan saya me recall ingatan, bagaimana Partai Golkar dibelah, Ketua Umum dan Sekjen di penjara, dan nunut terus sampai detik terakhir kini menyerahkan diri sepenuhnya.
Sebagian kader mungkin memandang ini bagian dari permainan politik sebagai upaya olah-mengolah dalam power game dengan kekuasaan seolah-olah menjadi jati diri Partai Golkar, nunut dengan kekuasaan.
Tidak dapat disalahkan, pasca reformasi memang Partai Golkar naik turun belum pernah merasakan kekuasaan yang seutuhnya , memenangkan ranah eksekutif menempatkan Presiden dan menjuarai legislatif menguasai parlemen sehingga kini para kader muda terbiasa dengan suasana dan keadaan “nunut urip” dengan yang berkuasa, menjadi side kick penguasa. Mental dan tradisi ini ternyata yang diturunkan di satu generasi kader Partai Golkar.
Yuk jadi Golkar, jangan seolah-olah Golkar atau Golkar seolah-olah.
Oleh Khalid Zabidi
Golkar Garis Keras