Berita Golkar – Panas siang di Jalan El Tari, Kupang, terasa menyengat, Senin (1/9/2025). Keringat menetes di wajah para mahasiswa, namun semangat mereka tak luntur. Sebagian tampak berwajah lelah, kausnya basah, tapi sorak-sorai tetap menggema setiap kali orasi digemakan dari atas mobil komando.
Aspirasi yang disuarakan beragam: dari isu tunjangan anggota DPR, demokrasi, hingga kasus lokal seperti proyek geotermal dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Sesekali mereka meneguk air mineral dari gelas plastik yang dibagikan relawan di pinggir jalan. Tegukan singkat itu cukup untuk mengusir dahaga, sebelum kembali meneriakkan tuntutan bersama.
Di hadapan mereka, jajaran pemerintah provinsi hadir tanpa jarak. Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena, Wakil Gubernur Johni Asadoma, Ketua DPRD Emilia J. Nomleni, Kapolda Brigjen Pol. Rudi Darmoko, hingga unsur Forkopimda lain, berdiri di bawah terik yang sama. Tak ada pendingin ruangan, tak ada podium.
“Kami dengar semua aspirasi dengan baik, dan siap meneruskannya ke pemerintah pusat,” kata Gubernur Melki, sambil sesekali mengusap wajahnya yang basah keringat. Emilia menambahkan, DPRD akan memastikan suara mahasiswa tidak berhenti di Kupang, tetapi masuk dalam agenda nasional.
Dialog pun terbuka di tengah kerumunan. Pemerintah menegaskan, proyek geotermal yang bermanfaat akan diteruskan, sementara yang bermasalah dihentikan. Isu TPPO mendapat perhatian khusus. “Kita tidak boleh lagi mendengar ada orang NTT pulang sebagai jenazah. Pengawasan akan diperketat,” ujar Gubernur Melki.
Aksi tetap berlangsung tertib. Aparat berjaga tanpa menunjukkan ketegangan, sementara koordinator aksi bergantian mengingatkan kawan-kawannya agar tetap damai.
Menjelang akhir pertemuan, Gubernur Melki berdiri di tengah barisan mahasiswa dan mengajak seluruh massa aksi untuk menyanyikan lagu Padamu Negeri. Suara serak karena orasi berpadu dengan suara pejabat pemerintah, membentuk harmoni sederhana di bawah terik Kupang. Beberapa mahasiswa terlihat menahan haru, sementara aparat kepolisian ikut berdiri tegap menghormat.
Setelah lagu usai, massa pun membubarkan diri dengan tertib. Di tengah panas yang menyatukan, momen itu meninggalkan kesan kuat: suara mahasiswa dan masyarakat tak hanya menggema di jalanan, tetapi diterima langsung oleh para pemimpin daerah, dalam tatapan yang sama-sama kepanasan, kehausan, sekaligus penuh harapan.
Aksi massa akhirnya bubar dengan tertib menjelang sore. Jalan El Tari kembali lengang, menyisakan spanduk dan botol minum kosong. Dari panas terik hingga peluh yang bercucuran, demonstrasi itu membuktikan bahwa NTT memilih jalur damai.
Di saat sejumlah daerah lain menghadapi demonstrasi yang berujung anarkis, penjarahan, hingga pembakaran fasilitas umum, di Kupang orasi tetap bisa berdiri sejajar dengan dialog. NTT seolah berkata: suara kritis bisa diterima tanpa harus membakar apa pun, selain semangat untuk terus menjaga demokrasi tetap hidup.