Gunakan Dana Umat, Hasan Basri Agus Khawatir Terima Honor Saat Hadiri FGD Dengan BPKH

Berita Golkar – Anggota Komisi VIII DPR Hasan Basri Agus mengaku was-was menerima uang honor dari kegiatan Focus Group Discssion (FGD) yang diselenggarakan oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).

Kekhawatirannya dipicu lantaran 100 persen dana yang dikelola oleh BPKH adalah dana umat, bukan APBN. Karena itu, dia mempertanyakan halal tidaknya anggota dewan menerima honor dari BPKH.

Pertanyaan tersebut dilontarkan Hasan Basri Agus saat Rapat Panitia Kerja (Panja) dengan perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) dan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (6/3/2025).

Hasan menjelaskan, pada dasarnya uang haji yang dikelola BPKH ini adalah dana umat yang disetor oleh para calon jamaah haji. Dana tersebut oleh umat tentunya dicari dengan keringat darah dan air mata oleh masyarakat di lapangan.

Ada yang berprofesi petani, penjual bakso, dan masyarakat kecil lainnya, yang dikumpulkan dan disetorkan kepada kepada Pemerintah melalui BPKH. Adapun BPKH merupakan lembaga yang ditugaskan negara untuk mengelola agar dana umat ini bisa dikelola sebesar-besarnya untuk mendapat hasil dari pengelolaan itu.

“Yang ingin kami tanyakan adalah BPKH ini kan tidak ada uang APBN, semua operasional uang yang digunakan untuk personal BPKH ini adalah hasil dari pengelolaan uang dari umat ini, termasuk juga kadang-kadang FGD kami pak, dapat honor FGD juga uang itu. Itu hukumnya apa Pak? Jangan-jangan kita ini makan uang haram gitu?” tanya Hasan.

Untuk itu, dia berharap ada penjelasan dari MUI, Muhammadiyah dan LDII terkait uang honor bagi DPR yang berasal dari kegiatan yang diselenggarakan oleh BPKH ini. Dia tidak ingin, persoalan duit honor FGD dari dana umat ini membuat dirinya terjerembab ke perbuatan yang tidak sesuai dengan aturan.

“Kita takut Pak, kita sudah umur-umur kayak gini ini, masih bergelimang dengan hal-hal yang seperti ini, ya kita takutkan ini. Makanya kami perlukan penyataan dari bapak sebagai pimpinan yang bidang umat, bidang ulama kami ini yang memegang hukum gitu,” jelasnya.

Hasan mengaku, telah menunggu kedatangan para ulama-ulama ini untuk mendengar pemaparan soal masalah ini. Dia berharap ada penjelasan dari para tokoh ulama ini untuk mengklirkan masalah itu.

“Jadi itu yang diperlukan pernyataan dan ini sebenarnya kami tunggu-tunggu kedatangan Bapak ini sebenarnya terutama dari MUI itu apa hukumnya Pak? Itu sebabnya kemarin saya mendukung kalau memang diharapkan operasional BPKH ini dari uang APBN,” sebutnya.

Lebih lanjut, politisi senior Fraksi Partai Golkar ini mengaku, sebelum duduk di DPR, sebelumnya pernah menjabat Ketua Badan Amal Zakat Nasional (Baznas) Provinsi Jambi. Dan sepengetahuannya, dana operasional Baznas tidak mengambil uang Baznas, melainkan dari APBD. “Jadi dana Baznas betul-betul untuk umat gitu,” sebutnya.

Dalam kesempatan tersebut, Hasan juga mengungkap besarnya harapan masyarakat, terutama dari DPR agar daftar tunggu jamaah ini bisa berkurang signifikan. Cuma masalahnya, realitas yang harus dihadapi bahwa kondisi Arafah yang memang luasnya tidak bisa bertambah. Kalau kuota haji ditambah, tentu ini menjadi masalah.

“Jadi kami tidak bisa juga berpikir jangan-jangan memang ada tahun ini harapan Pemerintah negara di Rusia kalau nggak akan mengasih jatah kepada kita 7.000 kepada kita ya, kalau tidak salah informasi. Kalau seperti itu umat kita dari Indonesia semakin banyak gitu (kuotanya),” tambahnya.

Sementara Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ishfah Abidal Aziz mengatakan terkait operasional penggunaan dana haji itu, maka fikih itu menjad penting. Sebab sejatinya Fikih itu memberikan kemudahan-kemudahan dalam proses penyelenggaraan ibadah haji, mulai semenjak pengelolaan keuangannya, sampai di operasional hajinya.

“Saya kira beberapa poin terkait dengan penggunaan nilai manfaat untuk operasional jika harus di lihat dari dalam perspektif fikih, itu dapat kita coba diskusikan lebih lanjut. Saya bukan ahli fikih Pak, Saya tidak bisa menjawab itu, tapi bahwa bagaimana fikih memandang itu pasti akan kita temukan solusinya,” kata Ishfah.

Tapi yang jelas, Ishfah memandang 5 persen dari nilai manfaat dana haji untuk operasional tidak harus di angka 5 persen seperti saat ini. Baginya angka 5 persen dari nilai manfaat secara total itu terlalu besar sementara hasil yang diperoleh atau return yang diterima oleh BPK tidak terlalu signifikan dibanding besaran operasionalnya. “Maka nilai operasional BPKH itu dari mana, dan berapa itu harus dirumuskan lebih ulang,” sebutnya.

Sementara terkait masa tunggu, tokoh muda NU ini menjelaskan, memang satu-satunya mengurai masa tunggu ini adalah menambah kuota pak. Namun dia berpandangan, jika kuota haji ditambah hingga mencapai 250 ribu, menurutnya, akan sangat sulit untuk menjalankan. “Kita mau mengelola seperti apa, itu nggak ada,” katanya.

Oleh karena itu, dia usul dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Jamaah Haji dan Umrah, pelaksananaan haji sebaiknya berbasis jamaah berbasis layanan. Sehingga jika itu diterapkan maka konsekuensinya, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, yang ditetapkan adalah pagu nilai manfaat saja karena Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih)-nya akan berbeda-beda karena berbasis layanan.

“Maka kemudian yang ditetapkan adalah pagu nilai manfaat sesuai tahapannya. Tahun ini nilai manfaat 35 persen, tahun berikutnya 30 persen, tahun berikutnya 25 persen, dan seterusnya. Jadi pagu nilai manfaat yang ditetapkan karena Bipih berbasis layanan akan berbeda dengan masing-masing layanan itu,” ujarnya. {}