Berita Golkar – Anggota DPR RI Dapil Bali, Anak Agung Bagus Adhi Mahendra Putra (Amatra) menyerukan dan mendorong pemerintah untuk serius memerangi dan memberantas mafia pangan dan impor. Seruan itu disampaikan Adhi Mahendra Putra saat menyinggung bagaimana dengan kebijakan pembangunan kedaulatan pangan kita baik yang menyangkut produksi, hilirisasi, tata niaga domestik dan kebijakan impor.
“Dan yang terpenting adalah bagaimana kendalikan impor dorong ekspor. Saya yakin kalau peta ekonomi desa benar-benar ada dan kita konsentrasi di desa, kita bisa menekan impor dan mendorong ekspor,” kata Adhi Mahendra Putra saat menjadi salah satu narasumber dalam forum evaluasi Integrated Participatory Development and Management of Irrigation Program (IPDMIP) yang digelar Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di Swiss-Belhotel Rainforest, Kuta, Badung, Bali, pada Kamis, 19 Oktober 2023.
“Apalagi sekarang kita mendorong jabatan kepala desa 9 tahun dengan dua periode karena konsentrasi membangun desa tidak ringan, tugasnya berat tapi kehadiran pemerintah di desa di segala bidang masih separuh hati,” sambung Adhi Mahendra Putra yang kini bertugas di Komisi II DPR RI yang membidangi pemerintahan dalam negeri dan otonomi daerah, aparatur negara dan reformasi birokrasi, kepemiluan, serta pertanahan dan reforma agraria ini.
Lantas pertanyaanya kenapa setiap musim panen selalu ada impor pangan? “Salahnya di data. Data mana sih yang bisa kita pakai. Menteri Perdagangan bilang kurang, Menteri Pertanian bilang cukup. Kita tidak punya data acuan, ini kelemahan kita. Makanya kita harus buat data dengan membangun peta ekonomi di desa secara riil. Kita akan tahu mana daerah yang sudah surplus beras mana yang kurang. Jadi dari data desa akan menjadi data negara. Kalau kita benar-benar mulai dari desa kita akan kembali jadi negara agraris,” beber Anggota Fraksi Golkar DPR RI yang akrab disapa Gus Adhi ini.
Kembali soal tata niaga pangan dari desa khususunya di Bali, Adhi Mahendra Putra kembali menyinggung soal peran dan keberadaan subak. Pertanyaanya, sudahkan ada subak di Bali ataupun kelompok tani yang mampu mengelola hasil panennya sendiri? Jawabannya tidak ada.
Yang ada, katanya, petani menjual tebasan, suatu cara penjualan hasil suatu jenis produk pertanian sebelum produk tersebut dipanen, di mana produk tersebut hasilnya sudah siap dipanen.
Dengan jual tebasan harga jual produk pertanian tentu menjadi sangat rendah yang berimbas pada nilai tukar petani (NTP) menjadi rendah pula. Selain itu, struktur pasarnya juga selalu berubah-ubah
“Karena apa? Karena kembali kita tidak mengatur tata niaganya dengan bagus. Antara supplay and demand tidak ada data yang jelas,” tutur Adhi Mahendra Putra.
“Jadi saran saya harus benar-benar dilaksanakan program One Village One Product, jangan hanya sebatas slogan. Di Bali ada 716 desa, ada 1943 desa adat dan ada kurang lebih 1500 subak. Bagaimana kita mendorong setiap desa melahirkan satu produk unggulan yang harus berdasarkan kekhasan desanya dan dikembangkan lewat keilmuan kewirausahaan masyarakat. Masyarakat harus diajari berhitung melalui lembaga Bumdes,” urai Politisi Golkar asal Jero Kawan, Kerobokan, Kabupaten Badung lebih lanjut.
Misalnya petani manggis harus mampu menghitung biaya produksi kemudian bagaimana melahirkan manggis yang berkualitas dan bisa tembus pasar ekspor sehingga petani bisa naik kelas dari petani bisa menjadi pengusaha pertanian dan pelaku ekspor atau eksportir.
“Ekspor manggis Bali sangat diminati oleh China. Jadi peluangnya besar,” tegas wakil rakyat yang sudah dua periode mengabdi di DPR RI memperjuangkan kepentingan Bali ini dan baru-baru ini sukses mengawal dan memperjuangkan lahirnya Undang-Undang Provinsi Bali.
Di sisi lain Adhi Mahendra Putra mengingatkan masyarakat petani jangan menjadi pemerkosa pertanian. “Mupuk nggak pernah, mangkas nggak pernah, memelihara tidak pernah. Tahunya sudah ada buah ambil jual selesai. Disinilah perlu kita hadirkan penyuluh pertanian,” tegas Adhi Mahendra Putra yang juga Ketua Harian Depinas SOKSI dan Ketua Depidar SOKSI Bali ini.
Karena ketidakpahaman masyarakat petani dalam mengoptimalkan lahan pertaniannya, Adhi Mahendra menemui banyak subak abian atau kebun/ladang masyarakat petani menjadi hutan mini. Maunya menanam tumpang sari tapi jadi tumpang tindih dan tidak menghasilkan apa-apa padahal lahan tersebut adalah aset yang luar biasa.
Dia lantas memberikan perbadingan dan ilustrasi bahwa di luar negeri negaranya maju karena asetnya bekerja sedangkan orangnya tidur. “Sekarang di Indonesia aset kita yang tidur dan kita yang sudah kerja. Subak abian sekian hektar tidak menghasilkan apa-apa,” katanya lantas mengingatkan pentingnya 3K yakni kualitas, kuantitas dan kontinuitas dalam pertanian.
“Masalah 3K itu sudah harus mampu kita atasi bersama sehingga petani punya harapan kesejahteraan,” pungkas Adhi Mahendra Putra yang dalam Pileg 2024 ini kembali maju nyaleg ke DPR RI Dapil Bali dari Partai Golkar dengan nomor urut 4. {sumber}