Berita Golkar – Program hilirisasi yang digadang-gadang sebagai jalan menuju kemajuan industri nasional, ternyata terhambat oleh kebijakan ekspor bahan baku yang tak terkendali. Ada sejumlah fakta yang bisa menjadi bukti dan berakibat matinya industri nasional.
Penasehat Ahli Balitbang DPP Partai Golkar, Prof. Dr Henry Indraguna, SH MH menyebut kondisi ini sebagai “bom waktu” bagi ekonomi Indonesia.
“Jika bahan baku terus diekspor mentah, industri kita hanya jadi penonton di rumah sendiri. Industri nasional sudah tidak berdaulat lagi sebagai arus utama pertumbuhan ekonomi,” tegas Prof Henry saat menjadi narasumber dalam Seri Diskusi Balitbang Partai Golkar yang bertajuk: Pembangunan Nasional Menuju Indonesia Emas 2045. Menyongsong HUT Partai Golkar ke 61 Tahun di Gedung Sudharmono, DPP Golkar, Slipi, Jakarta, Rabu (6/8/2025)
Seri Diskusi Balitbang Partai Golkar yang dimulai sejak Juli hingga Oktober jelang 81 Tahun usia Partai Golkar dihadiri langsung Ketua Balitbang Golkar Prof Yuddi Chrisnandi, Wakil Ketua Balitbang Prof Ganjar Razuni, Bambang Sutrisno, Justin Djogo , dan pengurus lainnya.
Prof Henry mengingatkan ucapan tokoh ekonomi dunia Adam Smith yang menyebut kekayaan suatu bangsa bukan hanya pada apa yang dimilikinya, tetapi bagaimana ia mengelola sumber dayanya untuk kesejahteraan rakyat.
Profesor dan Guru Besar Unissula Semarang ini dalam laporannya menunjukkan banyaknya industri lokal kesulitan mendapatkan bahan baku seperti arang batok kelapa, kayu gelondongan, hingga biji kakao, yang mengalir deras ke pasar ekspor tanpa diolah terlebih dulu di Republik yang seharusnya mendapatkan nilai tambah ekonomi besar.
“Akibatnya, harga bahan baku di dalam negeri melambung, pabrik sulit berproduksi, dan lapangan kerja pun tergerus. Ini bukan cuma soal ekonomi saja. Akan tetapi juga amanat konstitusi yang telah dilanggar. Karena jelas diamanatkan dalam UUD 1946 bahwa bumi, kekayaan alam yang terkadang di dalam bumi pertiwi dikuasai oleh negara dan diperuntukkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat,” ungkap Prof Henry.
Pelanggaran konstitusi yang dimaksud merujuk pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa kekayaan alam harus dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat.
Doktor Ilmu Hukum UNS Surakarta dan Universitas Borobudur Jakarta ini lalu menunjuk landasan hukum saat ini yang sejatinya sudah ada, yakni UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba, khususnya Pasal 102 dan 103, yang mewajibkan pengolahan hasil tambang dilalukan di dalam negeri dan memberi wewenang kepada pemerintah untuk melarang ekspor bahan mentah.
Kemudian juga PP Nomor 96 Tahun 2021 yang mengatur sanksi bagi perusahaan yang tak mematuhi aturan pengolahan. Namun Prof Henry menyoroti celah besar bahwa aturan ini hanya berlaku untuk sektor pertambangan.
“Sedangkan komoditas lain seperti arang, kakao, atau rotan masih bebas diekspor tanpa dilakukan upaya pengolahan. Dengan fakta ini terjadi kekosongan hukum yang harus segera ditutup,” tegasnya
Dampaknya nyata kepada industri hilir, yang seharusnya jadi tulang punggung hilirisasi, kini kesulitan bersaing karena bahan baku diserap pasar internasional. “Pabrik kita mati suri, sementara nilai tambah dan lapangan kerja lari ke luar negeri,” beber Ketua DPP Ormas MKGR ini.
Harmonisasi Regulasi dan Hilangkan Ego Sektoral
Prof Henry kemudian menawarkan sejumlah solusi. Pertama, pemerintah harus segera menerbitkan Peraturan Presiden atau Peraturan Menteri Perdagangan yang melarang atau membatasi ekspor bahan baku tertentu, seperti arang batok kelapa, kakao, dan rotan.
“Pemerintah harus memberikan insentif bagi eksportir yang mau membangun pabrik hilir di Indonesia. Ini adslsh win-win solution agar industri nasional bangkit dan kembali menjadi penopang pertumbuhan ekonomi,” tegas Prof Henry
Kedua, dia mendorong perluasan cakupan UU Minerba ke sektor perkebunan dan kehutanan.
Yang dibutuhkan adalah revisi UU Perdagangan atau UU Perindustrian agar semua komoditas unggulan wajib diolah di dalam negeri. Jika larangan total ekspor sulit, Politisi Beringin asal Jateng ini menawarkan opsi kuota ekspor terbatas berdasarkan ketersediaan bahan baku lokal.
Selain itu dibutuhkan juga harmonisasi antar-kementerian. Prof Henry menekankan perlunya sinergi antara Kementerian Perdagangan, Perindustrian, dan ESDM untuk menyeimbangkan kepentingan ekspor jangka pendek dengan pembangunan industri jangka panjang.
“Jangan sampai kementerian main sendiri-sendiri. Lebih mengutamakan ego sektoral ketimbang bagaimana menyelamatkan industri kita. Ini sudah darurat bagaimana menyelamatkan nasib jutaan tenaga kerja yang bertumpu kepada kelangsungan manufaktur nasional,” tandas Wakil Ketua Dewan Penasehat DPP AMPI ini.
Terakhir, Prof Henry mengusulkan pembuatan roadmap hilirisasi multi-sektor melalui Peraturan Pemerintah atau Perpres, mencakup sektor non-tambang seperti industri arang kelapa, kakao, perikanan, hingga kayu dan rotan.
“Karena tanpa peta jalan yang jelas, hilirisasi cuma jadi jargon dan retorika belaka,” ucapnya kritis.
Dari pandangan Prof Henry, langkah ini sejatinya juga bukan soal proteksionisme, melainkan adalah kesadaran anak bangsa Merah Putih menjalankan amanat Pasal 33 UUD 1945 secara murni, konsekuen, dan konsisten.
Dia lalu mengutip filsuf John Stuart Mill yang menyebut bahwa kesejahteraan sebuah bangsa bergantung pada kemampuannya mengubah sumber daya menjadi nilai yang berkelanjutan.
Waketum DPP Bapera sekaligus Ketua LBH DPP Bapera memaknai ajaran Mill sebagai cara keberpihakan pada industri dalam negeri dan UKM, terutama sektor ekonomi yang berada di desa.
“Hilirisasi yang tak didukung pembatasan ekspor itu seperti membangun rumah tanpa fondasi. Sebagai fondasi yang kuat maka rakyat yang berdaulat atas sumber kekayaan Bumi Pertiwi harus jadi prioritas negara,” terangnya.
Maka Prof Henry berharap pemerintah segera bertindak cepat dan hadir membela serta mengafirmasi pelaku ekonomi untuk mengoptimalkan hilirisasi sumber alam Indonesia dan mengevaluasi ketergantungan impor sementara bahan baku masih banyak tersedia di perut bumi Indonesia.
“Jadi kekayaan alam Indonesia harus jadi berkah, bukan cuma lari ke luar negeri sehingga kita amsyong (tak mendapatkan manfaat),” tuturnya.
“Saatnya pemerintah menunjukkan keberpihakan pada industri dalam negeri,” pungkas Wakil Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini.