Berita Golkar – Pemerasan terhadap Warga Negara Asing (WNA) oleh 18 polisi saat menonton Djakarta Warehouse Project (DWP) di JIExpo Kemayoran, Jakarta, pada 13-15 Desember 2024, lalu bukan hanya mencoreng citra polisi. Tetapi perbuatan itu sekaligus menunjukkan ada yang salah dalam tubuh polisi secara kelembagaan.
Pakar hukum Prof Dr Henry Indraguna menyebutkan bahwa perilaku memeras oleh oknum polisi sudah terlalu banyak diungkap masyarakat. Tindakan sanksi juga sudah diambil. Namun hal itu nyatanya terus berulang, seolah tak pernah berhenti.
“Saya melihat ada semacam kebiasaan yang dinormalisasi atau dianggap normal. Tiap kali masyarakat berurusan dengan polisi, yang dipikirkan pertama adalah menyuap. Ini adalah gejala yang tidak sehat,” tegas Prof Henry kepada suarakarya.id di Jakarta, Rabu (25/12/2024).
Prof Henry sangat prihatin jika melihat jumlah oknum polisi yang terlibat dalam kejadian itu sangat banyak dan dari berbagai strata. Tentu ini seperti telah terkoordinasi dan berjalan tidak secara individual. Bukan hanya dari Polsek Metro Kemayoran namun melibatkan pula oknum Polres Metro Jakarta Pusat dan Polda Metro Jaya.
“Ini pekerjaan rumah (PR) besar bagi Pak Kapolri. Harus ada evaluasi pembinaan menyeluruh. Ini kaitannya dengan tradisi yang hidup di lingkungan Polri. Sanksi tegas berupa pemecatan pun tidak cukup. Tetapi harus disertai dengan proses pidana,” tegasnya.
Doktor Ilmu Hukum UNS Surakarta dan Universitas Borobudur Jakarta ini menyebutkan bahwa jumlah polisi di Indonesia sejatinya sudah mendekati angka ideal. Yakni 1:213. Idealnya rasio perbandingan adalah 1:225. Artinya satu orang polisi mengawasi dan melayani 225 warga.
Namun jumlah besar ini menjadi sia-sia karena ulah oknum-oknum yang justru memperburuk citra Kepolisian yang beberapa peristiwa telah terungkap melibatkan oknum polisi nakal.
“Mari kita sportif melihat lingkungan para polisi. Adakah yang mengutamakan hidup bermewah-mewah dan menjadikan temannya iri? Jangan sampai ada anggapan dan stigma adanya lahan basah dan kering di polisi,” jelas Henry.
Dalam catatan Profesor Unissula Semarang ini, para polisi yang melanggar dan terlibat pemerasan selalu dari satuan yang sama. Angka tertinggi memang berasal dari Satlantas atau Satuan Lalu Lintas.
Seiring berbagai kebijakan yang membatasi interaksi polisi lalu lintas dengan masyarakat berkaitan pelanggaran lalu lintas maka angkanya juga turun.
Untuk itu, Prof Henry mengapresiasi Pimpinan Polri telah mengandalkan digitalisasi dalam kinerja Satlantas dalam pelayanan terkait pembuatan SIM maupun pelanggaran tilang yang tidak melibatkan anggota secara langsung. Tetapi memakai E-tilang atau denda tilang elektronik.
Prof Henry lalu menyoroti terkait Satuan Reserse dan Kriminal. Ini masih terbagi dalam Reskrimum dan Reskrimsus. Satuan ini, kata dia, menduduki peringkat yang juga disoroti publik.
“Saya khawatir kalau ada tindakan rekayasa khususnya dalam satuan narkoba, bisa jadi itu bagian dari skenario pemerasan,” ucapnya.
Prof Henry menyarankan Kapolri untuk mengevaluasi secara menyeluruh catatan publik ini. Mulai dari rekruitmen yang mungkin masih ada suap menyuap, pembinaan harian, hingga penegakan aturan.
“Polisi adalah penegak hukum. Maka jika melanggar hukum dengan sengaja apalagi terencana, maka sanksinya harus lebih berat dan tegas,” terangnya.
Menurut Wakil Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini, evaluasi pembinaan, bisa juga dengan menerapkan gaya hidup yang sederhana.
“Kesederhanaan pergaulan sehari-hari akan meminimalisir kesenjangan pada satuan basah dan kering. Karena gaji dan tunjangan yang dibayarkan oleh negara saat ini sudah lebih dari cukup. Jadi jelas alasannya bukan karena kurang kesejahteraan,” kata Henry.
Seperti diketahui kasus ini dapat terungkap berawal Ilham (26), bukan nama sebenarnya, warga negara Malaysia, menjadi korban dugaan pemerasan oleh oknum polisi saat menghadiri DWP 2024 di Jakarta International Expo Kemayoran.
Saat menyaksikan penampilan Steve Aoki, Ilham ditarik oleh seseorang yang mengaku polisi dan diminta mengikuti pemeriksaan. Paspor Ilham ditahan dengan alasan pemeriksaan administrasi, dan ia diminta menjalani tes kesadaran.
Namun, paspornya tidak dikembalikan hingga Raka, rekannya yang juga bukan nama sebenarnya, memberikan uang Rp 200 ribu kepada terduga polisi tersebut. Setelah itu, paspor Ilham baru dikembalikan. Kabar yang beredar total pemerasan tersebut menghasilkan angka yang fantastis, mencapai Rp 32 Miliar. {redaksi}