DPP  

Henry Indraguna Ingatkan Wacana Revisi UU Polri Bisa Jadi Perisai Bagi Rakyat Atau Pedang Untuk Penguasa

Berita GolkarWacana revisi Rancangan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) kembali memanaskan diskursus publik. Di tengah dinamika keamanan modern, DPR RI mengusulkan perubahan untuk memperkuat peran Polri.

Namun, draft yang beredar menuai sorotan tajam karena dianggap membuka celah penyalahgunaan wewenang. Pertanyaan dasar yang muncul adalah sejauh mana revisi ini mampu menyeimbangkan profesionalisme kepolisian dengan perlindungan hak warga?

Pakar hukum Prof Dr Henry Indraguna SH. MH menyebut bahwa berdasarkan draft per Maret 2025, revisi RUU Polri mencakup sejumlah poin krusial. Salah satunya, Pasal 16A dan 16B yang memperluas wewenang intelijen kepolisian (Intelkam) untuk melakukan penggalangan intelijen dan meminta data dari lembaga seperti BIN atau BSSN.

Hal lain yang disorot adalah pasal yang memungkinkan Polri memblokir akses siber demi “keamanan dalam negeri” dan melakukan penyadapan tanpa pengawasan ketat.

“Ada juga soal usia pensiun anggota Polri diusulkan naik menjadi 60-62 tahun. Sementara pejabat fungsional hingga 65 tahun,” ujar Prof Henry.

Komisi III DPR RI menilai revisi ini selaras dengan kebutuhan menangani kejahatan siber dan terorisme. Namun, koalisi masyarakat sipil, seperti YLBHI, memperingatkan potensi ancaman terhadap demokrasi dan privasi warga.

“Saya menangkap revisi ini punya niat baik, seperti memperkuat koordinasi antarlembaga dan menyesuaikan Polri dengan tantangan digital. Tapi, tanpa pengawasan independen yang kuat, wewenang baru ini memang rawan disalahgunakan,” ungkapnya

Sebagai penyeimbang, Prof Henry melihat pentingnya memperkuat Kompolnas sebagai pengawas eksternal agar Polri tetap akuntabel. Ia lalu mengisahkan kelahiran polisi di dunia. Secara filosofis, lembaga kepolisian di dunia lahir dari gagasan untuk menjaga ketertiban sosial.

Pada abad ke-19, Sir Robert Peel mendirikan Metropolitan Police di London dengan prinsip bahwa polisi adalah bagian dari masyarakat, bukan penguasa di atasnya.

“Prinsip ini menegaskan bahwa legitimasi polisi bergantung pada kepercayaan publik, bukan kekuatan semata. Polri sebagai penegak hukum diharapkan mencerminkan semangat melindungi, bukan mengintimidasi,” tegas Profesor dari Unissula Semarang ini.

Dijelaskan Penasehat Ahli Balitbang DPP Partai Golkar ini bahwa kekhawatiran itu muncul ketika revisi ini dinilai melenceng dari filosofi tersebut. Pasal tentang penyadapan dan pengendalian ruang siber, misalnya, dianggap bertentangan dengan prinsip perlindungan HAM.

“Padahal revisi ini sangat penting untuk merespon perkembangan zaman dan kencanggihan kejahatan yang juga mengikuti perubahan zaman. Jadi punya sisi positif. Peningkatan kapasitas Polri di ruang siber diharapkan bisa mempercepat respon terhadap kejahatan digital, seperti penipuan online, judi online, phising data pribadi maupun terorisme. Penyesuaian usia pensiun juga menjaga pengalaman perwira senior tetap relevan,” terangnya.

Menurut Sir Robert Peel, polisi dan rakyat adalah satu. Perbedaannya mereka hanya warga yang digaji untuk menjaga kesejahteraan bersama. Polisi lahir untuk melayani masyarakat melalui kepercayaan publik, bukan paksaan. Di London kala itu, Peel merancang polisi sebagai pelayan, bukan alat kekuasaan.

“Dengan revisi RUU ini, Polri diharapkan mewujudkan semangat melindungi, bukan mengintimidasi,” tegas Doktor Ilmu Hukum UNS Surakarta dan Universitas Borobudur Jakarta.

Prof Henry mengaku bisa memahami keresahan kelompok masyarakat yang kritis. Pengendalian ruang siber dan penyadapan dinilai rawan mencederai hak asasi. Jika ‘kepentingan nasional’ tak didefinisikan jelas, Polri bisa mengawasi warga semaunya.

“Itu saya kira yang dikhawatirkan civil society,” kata Prof Henry yang dipercaya sebagai Waketum Bapera, ormas yang menyuarakan semangat nasionalisme.

Menurutnya, jalan tengah yang menjadi pilihan terbaik adalah dengan penguatan Kompolnas dan keterlibatan publik agar revisi mencerminkan aspirasi rakyat.

Hingga kini, DPR belum menerima Surat Presiden Surpres) untuk membahas RUU Polri secara resmi. Dengan prioritas lain seperti RUU KUHAP, nasib revisi ini masih menggantung.

Dengan revisi ini, apakah Polri akan menjelma perisai kokoh bagi rakyat, atau pedang kuasa yang menakutkan? Kita tunggu saja bagaimana RUU Polri berproses.

Leave a Reply