DPP  

Henry Indraguna Mengenang Pakubuwono XIII: Antara Kesederhanaan dan Kebijaksanaan Raja Surakarta

Berita GolkarKeraton Surakarta Hadiningrat hari ini diliputi duka mendalam. Kabar wafatnya Kanjeng Susuhunan Pakubuwono XIII di Rumah Sakit Indriati Solo Baru, pagi ini, menggema hingga ke seluruh penjuru negeri. Sosok yang selama dua dekade terakhir menjadi simbol kebijaksanaan dan penjaga tradisi Jawa itu menghembuskan napas terakhir pada usia 77 tahun, sekitar pukul 07.30 WIB, setelah beberapa waktu menjalani perawatan intensif.

Bagi masyarakat Solo dan seluruh abdi dalem, kepergian sang raja bukan sekadar kehilangan seorang pemimpin, tetapi juga berpulangnya panutan yang mengajarkan keseimbangan antara adat dan zaman. Doa dan penghormatan mengalir dari segenap sentana dalem, keluarga besar keraton, hingga masyarakat yang pernah bersentuhan dengan keteladanan beliau.

Pakubuwono XIII naik takhta pada 10 September 2004, menggantikan ayahandanya, Pakubuwono XII. Masa awal pemerintahannya sempat diwarnai dualisme kepemimpinan, namun berakhir melalui rekonsiliasi yang penuh kebijaksanaan. Ia menunjukkan bahwa keluhuran Keraton bukanlah soal tahta, melainkan tentang marwah budaya dan kesetiaan menjaga akar peradaban Nusantara di tengah gelombang modernisasi.

Di bawah kepemimpinannya, Keraton Surakarta bukan hanya menjadi pusat kebudayaan, tetapi juga ruang dialog antar-generasi. PB XIII menanamkan nilai-nilai karakter, etika digital, dan spiritualitas Jawa agar tetap relevan dengan perkembangan zaman. Prosesi pemakamannya dijadwalkan berlangsung dengan penuh khidmat mengikuti adat Jawa, dan almarhum akan dimakamkan di Imogiri, Yogyakarta.

Salah satu sentana ndalem, Kanjeng Pangeran Aryo Prof. Dr. Henry Indraguna Pradatanagoro, SH, MH, mengaku sangat kehilangan. Menurutnya, PB XIII bukan hanya penguasa Keraton Surakarta Hadiningrat, melainkan juga pribadi yang memancarkan nilai kemanusiaan dan harmoni di tengah arus modernisasi.

“Meninggalnya beliau sejatinya adalah momen pembebasan roh mulia. Sekaligus juga membukakan pintu transformasi positif,” ujar KPA Prof. Henry kepada suarakarya.id, sembari menyampaikan rasa duka mendalam dan doa agar almarhum diterima amal dan baktinya oleh Tuhan YME.

Sebagai pengacara dan akademisi, Prof. Henry menautkan refleksi mendalam dengan kisah wafatnya Raja Bhumibol Adulyadej dari Thailand. Bagi rakyatnya, Raja Bhumibol adalah lambang kasih dan keseimbangan antara kemajuan ekonomi dan kesejahteraan sosial, sebuah filosofi pembangunan berkelanjutan yang berakar dari kebijaksanaan.

“Visi itu akarnya adalah moderasi kebijaksanaan dan ketahanan diri yang akhirnya sukses mengubah wajah Thailand melalui proyek seperti New Theory Agriculture di Provinsi Phetchaburi sejak 1980-an,” ungkap Doktor Ilmu Hukum lulusan UNS Surakarta dan Universitas Borobudur Jakarta itu.

Ia menjelaskan bahwa sistem tersebut membagi lahan pertanian menjadi zona irigasi, produksi, dan konservasi—mampu meningkatkan produktivitas hingga 30% dan mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia. Gagasan itu, menurutnya, sejalan dengan nilai kesederhanaan yang juga diwariskan PB XIII.

“Di Solo, warisan PB XIII adalah kesederhanaan sehingga cukup meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui gaya hidup sederhana,” tegas Penasehat Ahli Balitbang DPP Partai Golkar itu.

Lebih jauh, Prof. Henry menyoroti gagasan PB XIII tentang pendidikan anti-korupsi berbasis kearifan lokal. Sang raja percaya bahwa pencegahan korupsi tidak hanya melalui hukum, melainkan pembentukan karakter sejak dini melalui dialog lintas-generasi dan penguatan etika budaya.

“Contohnya, pada 2010-an, PB XIII mendukung workshop kolaboratif dengan universitas lokal bagi abdi dalem dan pemuda, di mana peserta belajar kepada undang-undang sekaligus meditasi Jawa untuk ketahanan mental dan meningkatkan kesadaran etis remaja hingga 25% berdasarkan survei,” bebernya.

Nilai yang diajarkan PB XIII, lanjutnya, sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi namun dibingkai dalam spiritualitas Jawa, srawung sebagai sebuah konsep keselarasan batin yang menempatkan integritas bukan hanya sebagai norma, tapi sebagai laku hidup.

“Kini, kepergian beliau adalah undangan bagi kita untuk melanjutkan inovasi ini, mencegah ‘regenerasi koruptor baru’ melalui pendidikan karakter yang holistik,” kesan KPA Prof. Henry.

Dalam perspektif geopolitik dan budaya, PB XIII juga dikenal sebagai figur rekonsiliatif. Prof. Henry mengaitkannya dengan teladan Raja Hussein bin Talal dari Yordania, yang wafat pada 1999 dan meninggalkan warisan perdamaian bagi Timur Tengah.

“Ini sama dan sebangun dengan yang diajarkan PB XIII. Jika ditarik lingkaran lebih luas, ini akan mampu mendorong forum dialog budaya lintas-batas dengan mengintegrasikan gotong royong Jawa. Rekonsiliasi bukan utopia, tapi senjata terkuat melawan fragmentasi regional,” pungkas politisi Partai Golkar yang membina wilayah Solo Raya itu.

Kepergian Pakubuwono XIII menjadi penanda berakhirnya satu bab penting sejarah Keraton Surakarta. Namun nilai, kebijaksanaan, dan kesederhanaan yang ia wariskan akan terus hidup dalam denyut budaya Jawa, menjadi pengingat bahwa kemuliaan sejati tidak diukur dari tahta, melainkan dari ketulusan menjaga harmoni antara manusia, budaya, dan semesta.

Leave a Reply