DPP  

Henry Indraguna Minta Putusan Hakim PN Surabaya di Kasus Gregorius Ronald Tannur Dihormati

Berita GolkarGregorius Ronald Tannur diputus bebas oleh tiga hakim PN Surabaya, usai didakwa membunuh Dini Sera Afrianti. Putusan ini memicu reaksi dari keluarga Dini Sera Afrianti.

Tak hanya unjuk rasa di PN Surabaya. Dalam Raker DPR RI, beberapa Anggota Komisi Hukum DPR juga mempertanyakan putusan yang tidak berpihak kepada korban hingga akhirnya meninggal. Hakim dianggap mengabaikan bukti dan saksi.

Praktisi hukum Prof Dr Henry Indraguna SH menilai bahwa anggapan adanya pengabaian bukti dan saksi masih bisa diperdebatkan karena penilaian terhadap bukti dan saksi tersebut mutlak merupakan hak penuh dari hakim.

“Menurut hemat saya kurang tepat apabila kemudian dikatakan hakim di dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut mengabaikan bukti dan saksi, karena secara hukum penilaian terhadap bukti dan saksi tersebut mutlak merupakan hak penuh dari hakim yang bersangkutan dan tidak ada satu pihak pun yang dapat mengintervensinya, karena suatu putusan hakim itu bebas, merdeka, dan imparsial,” tegas Prof Henry, Rabu (4/9/2024)

Sebelum Majelis Hakim tersebut memutuskan perkara dimaksud, kata Henry, hakim tersebut di dalam pertimbangan putusannya tentunya telah memberikan dan memuat alasan-alasan yang sah sebagaimana digariskan di dalam Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

Selain itu juga telah menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat seperti yang digariskan di dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

“Dan menurut saya sebelum hakim-hakim tersebut memutuskan perkara dimaksud, hakim tersebut di dalam pertimbangan putusannya tentunya telah memberikan dan memuat alasan-alasan yang sah sebagaimana digariskan di dalam Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa Putusan Pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili,” urainya.

Dan juga telah menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat seperti yang digariskan di dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Rekomendasi KY Pemberhentian Hakim Keliru

Pada kasus Surabaya ini, pihak keluarga korban dengan diwakilkan kuasa hukumnya mengadukan Majelis Hakim PN Surabaya tersebut ke Komisi Yudisial (KY). Dan KY pun akhirnya melakukan pemeriksaan kepada Hakim PN Surabaya. KY melakukan rapat dengan pihak DPR dan hasilnya, Komisi III mengeluarkan rekomendasi berupa pemberhentian terhadap tiga hakim tersebut kepada Mahkamah Agung.

“Menurut hemat saya rekomendasi berupa pemberhentian terhadap hakim-hakim tersebut adalah kurang tepat jika alasan dan dasar dikeluarkannya rekomendasi tersebut karena kasus tersebut viral atau karena hakim dianggap mengabaikan bukti dan saksi dalam perkara tersebut,” dikatakan Henry Indraguna.

“Sebab KY dalam kapasitasnya sebagai pengawas harus melakukan pengawasan berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 40, Komisi Yudisial wajib: a). menaati norma dan peraturan perundang-undangan; b). berpedoman pada Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim; dan c). menjaga kerahasiaan keterangan atau informasi yang diperoleh. Dan apabila KY melakukan pengawasan di luar itu tentunya secara hukum hal tersebut tidak berdasar dan cenderung melakukan kesewenang-wenangan kepada Majelis Hakim,” urai Prof Henry.

Dia menilai rekomendasi berupa pemberhentian terhadap hakim-hakim tersebut juga adalah keliru jika alasan dan dasar dikeluarkannya rekomendasi tersebut, karena adanya suatu hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh KY terhadap isi dari putusan hakim tersebut.

Namun tidak terbatas melakukan pemeriksaan terhadap berkas perkara dan pertimbangan-pertimbangan dari putusan tersebut, sebab hal tersebut menurutnya bukan ranahnya KY.

“Akan tetapi sudah masuk ranahnya hakim pada tingkat kasasi dan apabila hal terjadi menurut hemat saya KY sudah melebihi dari kewenangannya. Sudah overlapping karena KY telah masuk memeriksa pokok perkara,” tegasnya.

Lagi pula terhadap perkara tersebut oleh Kejaksaan Agung RI telah diajukan kasasi, sehingga menurut pandangan Prof Henry, sebaiknya siapa pun dan pihak manapun juga senantiasa menghormati putusan hakim tersebut.

Karena meskipun KY telah mengeluarkan atau menerbitkan rekomendasi berupa pemberhentian terhadap hakim-hakim tersebut, akan tetapi putusan hakim tersebut secara hukum akan tetap berlaku dan dinggap sah dan tidak batal.

“Bahwa terhadap rekomendasi KY tersebut, MA tidak wajib untuk menerimanya, bahkan dapat menolak sepenuhnya. Terlebih dalam permasalahan a quo jelas-jelas berkaitan dengan putusan,” tegas Prof Henry.

Prof Henry kembali menanyakan jika berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara MA dan KY, apakah MA sudah terlebih dulu memeriksa Majelis. “Apabila MA sudah duluan memeriksa sesuai UU Kekuasaan Kehakiman jo SKB tersebut, maka sejatinya, KY sudah tidak memeliki kewenangan,” jelasnya.

Prof Henry mengingatkan bahwa sifat pemeriksaan dan rekomendasi Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) adalah rahasia, tidak boleh diungkap ke publik. “In casu KY sudah kebablasan mengumbar ke publik, inilah yg fatal dari prosedur, dan substansinya masuk putusan,” tegas Prof Henry.

Argumentasi hukum Prof Henry, ini karena yang dapat membatalkan putusan tersebut secara hukum hanyalah peradilan yang lebih tinggi yakni Hakim Agung pada Tingkat Kasasi. {redaksi}