Berita Golkar – Berita terungkapnya korupsi hingga ratusan triliun, membuka ruang diskusi penerapan hukuman mati. Kasus Pertamina, PT Timah, dan PT Antam, mencerminkan keresahan publik yang kian memuncak.
Banyak yang kemudian mengusulkan penerapan hukuman mati untuk menimbulkan rasa takut dan efek jera.
Pakar hukum Prof Dr Henry Indraguna SH MH menilai persoalan tersebut bukan hanya soal lemahnya pelaksanaan aturan, tetapi juga desain sistem yang kerap dimanipulasi oleh politisi korup dan kekuatan finansial oligarki.
Ada pula yang mengusulkan penerapan hukuman mati ini bagi juga berlaku para aparat penegak hukum (APH). Polisi, Jaksa, Hakim, Penasehat Hukum, juga KPK.
“Hukuman mati, misalnya untuk penegak hukum, mungkin memberi efek jera sementara. Akan tetapi jika tanpa perbaikan sistem, korupsi akan terus berulang,” ujar Prof Henry di Jakarta, Kamis (13/3/2025).
Menurutnya, kasus-kasus korupsi jumbo seperti Jiwasraya, Pertamina, PT Timah, PT Antam menunjukkan pola bahwa pelaku utama di level atas sering lolos, sementara “pion” yang menjadi pelaksana justru dijadikan tumbal.
Prof Henry berpandangan tindakan menempatkan hukum di bawah politik, memungkinkan pemilik modal besar atau oligarki hitam mendanai politisi untuk melindungi kepentingan mereka.
“Selalu ada wacana, siapapun yang menduga justru malah diminta membuktikan. Bahkan ketika data-data yang bisa menjadi alat bukti dilampirkan sebagai laporan, ternyata juga mandek. Ini membuktikan bahwa rakyat tak punya kuasa membuktikan. Tak punya wewenang memeriksa saksi, bahkan tak punya akses untuk melakukan investigasi,” ungkap Profesor dari Unissula Semarang ini.
Lalu apakah hukuman mati bisa menjadi solusi?
Doktor Ilmu Hukum dari UNS Surakarta dan Universitas Borobudur Jakarta ini berpendapat tidak menjadi jaminan bahwa hukuman mati adalah solusi terbaik. Sebab jika hukum masih bisa diintervensi kekuatan politik atau kekuasaan, bisa saja membuat orang tak bersalah akhirnya didakwa korupsi karena tak sejalan dengan kekuasaan.
“Lalu bagaimana jika sudah dieksekusi mati. Tak ada lagi yang bisa dilakukan untuk menghidupkan orang yang sudah mati kan,” tegasnya.
Saat ini publik hanya bisa menekan kekuasaan untuk tidak mengintervensi hukum. Tekanan juga bisa diberikan kepada penegak hukum untuk bertindak profesional.
“Tekanan publik bisa melalui media mainstream atau media sosial serta solidaritas civil society jadi kunci. Misalnya dengan mengungkap data kecil yang bisa diviralkan,” terangnya.
Dari hal-hal kecil ini bisa menjadi pijakan dan membiasakan keberanian para penegak hukum untuk tidak tebang pilih. Bisa saja fokus awal pada kasus lokal yang lebih mudah dibuktikan untuk jadi pijakan menuju skandal besar.
“Sebagus apapun sistemnya, jika kendalinya di tangan yang salah, hukuman seberat apa pun takkan cukup,” pungkas Wakil Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini.