Berita Golkar – Terbakarnya Gedung A Museum Nasional Indonesia yang menimpa sebagian ruangan Sabtu (16/9) lalu, sangat disesali Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian.
Situasi serupa diharapkannya tidak terjadi pada sejumlah cagar budaya dan objek pariwisata, khususnya di Kalimantan Timur (Kaltim).
Menurut Hetifah yang merupakan anggota legislatif dari Kaltim ini, kejadian tersebut harus menjadi pembelajaran sangat penting. Terutama dalam memitigasi bencana di sejumlah objek wisata dan cagar budaya.
“Meskipun yang terbakar itu sebagian replika koleksi museum, hanya saja kan akhirnya kunjungan harus dibatasi,” kata Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar ini.
Dia berharap, Gedung A Museum Nasional Indonesia yang terbakar bisa secepatnya diperbaiki. Serta mereplikasi kembali koleksi-koleksi pamerannya yang hangus ditelan si jago merah.
“Agar masyarakat kita bisa kembali ke Museum Nasional Indonesia untuk berwisata sekaligus mendapatkan edukasi,” harap dia.
Khusus untuk pencegahan bencana di cagar budaya seperti museum, Hetifah menilai sejatinya telah diamanatkan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.
“Saya juga mengimbau kepada para pengelola objek-objek pariwisata kita itu, agar dapat menerapkan protokol mitigasi bencana. Misalnya pelestarian yang dimaksud dalam UU 11/2010 dijelaskan dalam Bab VII yang mencakup beberapa tindakan yaitu, pelindungan, penyelamatan dan pengamanan. Sehingga, ketika hal-hal yang tidak kita inginkan itu terjadi, bisa segera kita atasi dengan baik,” tegas dia.
Bahkan terkait pencegahan dan mitigasi, semua objek cagar budaya sudah harus menetapkan standar prosedur yang diatur dalam UU Cagar Budaya. Yaitu dalam melakukan tindakan mitigasi bencana, langkah awal yang harus dilakukan adalah melakukan kajian risiko bencana terhadap kawasan cagar budaya tersebut.
Terlebih di Bumi Etam, terdapat sejumlah cagar budaya yang perlu terus dilestarikan. Seperti Museum Mulawarman di Kutai Kartanegara, yang menyimpan banyak peninggalan bersejarah dari zaman Kerajaan Kutai. Lalu ada museum dan keraton di Kabupaten Berau.
“Dalam menghitung risiko bencana sebuah daerah kita harus mengetahui bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability) dan kapasitas (capacity) suatu wilayah yang berdasarkan pada karakteristik kondisi fisik dan wilayahnya,” ungkapnya.
“Selain itu, perlu disiapkan banyak APAR (Alat Pemadam Api Ringan) di berbagai titik bangunan cagar budaya untuk memudahkan akses penanganan yang cepat jika bencana kebakaran terjadi,” saran dia. {sumber}