Berita Golkar – Gerakan mahasiswa bukan saja melahirkan ide kemerdekaan Indonesia di era kolonialisme Belanda dan fasisme Jepang, tetapi seiring seperjalanan dengan negara republik. Gerakan mahasiswa menjadi si tawar dan si dingin guna menyehatkan kehidupan warga negara, terutama jelata yang tertindas dan terlindas kalangan elite.
Baru saja pemilu 2 Mei 1977 usai terselenggara, gerakan mahasiswa kembali menggeliat. Para penggerak berasal dari organisasi student government berupa Ikatan Keluarga Mahasiswa (IKM) di masing-masibg kampus. Dua lembaga yang punya peran menonjol adalah Dewan Mahasiswa (Dema) di tingkat perguruan tinggi dan Senat Mahasiswa (Sema) di tingkat fakultas.
Berbeda dengan gerakan menjelang, saat, dan setelah Malari 15 Januari 1974 yang dipimpin oleh Dema/Sema se-Jakarta, terutama Dema Universitas Indonesia (UI), maka pergerakan tahun 1977 dipimpin Dema/Sema se-Bandung.
Inisiatif Dema/Sema se-Bandung, menggelar pertemuan Dema/Sema se-Indonesia di Kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 24-27 Oktober 1977.
Kegiatan ini turut mengundang pakar-pakar yang kompeten dalam Seminar Pendahuluan, antara Iain Prof. Ismail Sunny SH (Hukum Tata Negara), Dr. AH Nasution (Situasi Kondisi Politik) dan Drs. M. Dawam Rahardjo (Perkembangan Ekonomi dan UUD 1945).
Ismail Sunny menjamin berdasarkan Pasal 28 UUD 1945 bahwa hak mahasiswa melakukan usaha-usaha ekstra parlementer yang konstitusional agar peran negara tetap pada lunasnya yang seimbang.
Dr. AH Nasution memberikan dukungan moral kepada gerakan mahasiswa dengan menggambarkan model taktik perang gerilya di zaman revolusi untuk dimodifikasi dalam model perjuangan mahasiswa untuk menghadapi Pemerintah.
Dukungan pakar itu membuat mahasiswa semakin berani melakukan aksi. Usai seminar, diadakan rapat khusus Dema/Sema se-Indonesia yang menghasilkan Dekrit Mahasiswa Indonesia.
Bunyi Ikrar Mahasiswa Indonesia
Dekrit itu diubah menjadi Ikrar Mahasiswa Indonesia yang berbunyi:
“Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
Bahwa cita-cita kemerdekaan pada hakekatnya adalah untuk mewujudkan kehidupan kenegaraan sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945 dan Pancasila.
Bahwa ternyata dalam pelaksanaannya cita-cita tersebut masih jauh dari apa yang diharapkan bersama.
Dengan didorong oleh keinginan luhur untuk menciptakan kehidupan bernegara yang bersih, berwibawa dan dapat dipercaya dalam rangka mewujudkan cita-cita kernerdekaan tersebut, maka kami mahasiswa Indonesia menyatakan:
Bahwa kehidupan kenegaraan harus dijiwai kembali oleh UUD 1945 dan Pancasila yang dilaksanakan secara murni dan konsekuen
Agar MPR segera menyelenggarakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungan jawab pimpinan nasional/Presiden RI tentang penyelewengan-penyelewengan dalam pelaksanaan UUD 1945 dan Pancasila
Bahwa kami bertekad tetap menggalang persatuan dan kesatuan dalam kebersamaan untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan demi kepentingan rakyat.”
Ikrar Mahasiswa itu ditetapkan tanggal 27 Oktober 1977 pukul 03.30 WIB.
Ikrar itu menjatuhkan penilaian bahwa kehidupan kenegaraan telah jauh menyimpang dari UUD 1945 dan Pancasila, sehingga perlu diluruskan kembali. Mereka menilai bahwa yang bertanggungiawab terhadap penyelewengan-penyelewengan itu adalah Presiden Soharto, sehingga perlu diadakan Sidang Istimewa MPR.
Tuntutan mahasiswa ini seperti mengulangi aksi mahasiswa yang dipelopori oleh KAMI di tahun 1967 yang meminta MPRS untuk mengadakan Sidang Istimewa bagi Presiden Sukarno.
Penguatan MPR/DPR
Dasar dari imbauan kepada MPR untuk mengadakan Sidang Istimewa itu diambil dari penjelasan tentang UUD Negara RI 1945 yang menekankan bahwa kedudukan DPR adalah kuat.
Dalam penjelasan itu disebutkan:
“…. Oleh karena itu, DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden dan jika Dewan menganggap bahwa Presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau oleh MPR, maka Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa, agar supaya bisa minta pertanggungan jawab kepada Presiden.”
Dengan adanya Ikrar Mahasiswa itu, gerakan mahasiswa semakin menegaskan posisi yang oposisional terhadap Presiden Soeharto.
Ketidakpercayaan kepada rezim Soeharto telah bersinggungan dengan kalangan yang berbeda pendapat dengan Presiden Soeharto dalam kebijakan-kebijakan pembangunan, seperti dengan Jenderal Dr. AH Nasution. Garis berseberangan gerakan mahasiswa itu juga memudahkan Pemerintah untuk menuduh sebagai ‘digerakkan oleh unsur-unsur di luar mahasiswa’.
Sejak dicetuskannya Ikrar Mahasiswa itu, aksi-aksi mahasiswa makin marak di kota-kota besar di Indonesia.
28 Oktober 1977, sehari setelah Ikrar Mahasiswa, diadakan upacara peringatan Hari Sumpah Pemuda di halaman pintu masuk Institut Teknologi Bandung (ITB). Seluruh peserta Pertemuan Mahasiswa se-Indonesia, anggota sivitas akademika ITB, termasuk Rektor ITB Prof. Dr. Iskandar Alisyahbana, dan masyarakat sekitar hadir dalam upacara peringatan itu.
Setelah upacara, seluruh delegasi Dema/Sema se-Indonesia mengadakan aksi turun ke jalan-jalan kota Bandung yang mendapat penjagaan ketat dari aparat keamanan. Pasukan Anti Huru Hara dan Panser dikerahkan di jalan-jalan yang akan dilewati para mahasiswa.
Tak Hanya di Bandung
10 November Dema/Sema se-lndonesia bertemu di Surabaya. Mereka mengukuhkan hasil pertemuan di Bandung yang melahirkan Ikrar Mahasiswa. Usai pertemuan mereka turun ke jalan dari kampus Institut Teknologi Surabaya (ITS) menuju Taman Makam Pahlawan (TMP), tetapi tak diizinkan oleh aparat keamanan untuk memasukinya.
Aksi yang sama berlangsung di Bandung, dengan tujuan TMP Cikutra. Poster-poster yang mereka bawa dirampas aparat keamanan yang menjaga ketat jalannya aksi itu. Tetapi mereka tidak dihentikan, hanya dikawal di kanan dan kiri jalan agar tidak melibatkan masyarakat sekitar.
Dalam edisi November 1977, tabloid Salemba menulis judul besar di halaman depan dengan judul ‘Hanya Kepadamu Pahlawan, Kami Bisa Mengadu?’
Ungkapan itu menandakan mahasiswa mulai dihinggapi rasa keputusasaan dalam menyikapi persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat, sehingga menempuh cara-cara irrasional dan simbolis.
Sampai November 1977 itu, Pemerintah masih bersikap hati-hati terhadap gerakan mahasiswa, sekalipun aksi-aksi itu sudah ditujukan kepada Presiden Soeharto. Aparat keamanan hanya ditugaskan untuk mengamankan jalannya aksi turun ke jalan yang dilakukan oleh mahasiswa, tanpa melakukan penangkapan.Pemerintah juga terus menerus melakukan koordinasi secara intensif, terutama dengan penyelenggara pendidikan.
Pada 24 November 1977, Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan 16 Rektor Perguruan Tinggi di Jawa, dengan didampingi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Syarif Thayeb. Usai itu, Thayeb menjelaskan bahwa Presiden menilai kegiatan-kegiatan mahasiswa yang terjadi masih dalam batas-batas kewajaran, namun diharapkan agar kegiatan mereka jangan sampa ditunggangi oleh pihak ketiga.
Presiden juga menjelaskan bahwa kebebasan mimbar kampus tetap dijamin, tetapi harus merupakan kebebasan yang bertanggungjawab dan ada batas-batasnya. Dalam menghadapi Sidang Umum MPR 1978, Presiden mengharapkan agar jangan sampai terjadi salah paham di antara mahasiswa. Sedangkan isu yang menyangkut dirinya, Presiden menjelaskan bahwa makam Astana Giribangun bukanlah milik pribadinya melainkan kepunyaan sebuah yayasan. la juga membantah isu bahwa rumah Hasyim Ning telah dibeli oleh keluarganya.
Usaha mahasiswa untuk menggelar Sidang Istimewa MPR tidak berhasil. Ketika pimpinan Dema/Sema itu mengadakan pertemuan dengan Ketua MPR/DPR RI Adam Malik, tidak ada pernyataan apa pun. Mereka hanya mengingatkan agar MPR RI menjalankan tuntutan mereka mengenai Sidang Istimewa. Karena tidak ditanggapi lagi, gerakan mahasiswa itu bergulir menjadi penolakan pencalonan Suharto sebagai Presiden RI periode 1978 – 1983 dalam Sidang Umum MPR.
Tapi, bukannya berhenti dengan pelantkan Presiden Soeharto, gerakan mahasiswa malah semakin besar dan menyeluruh pada 1978.
Oleh Indra J Piliang
Balitbang DPP Partai Golkar