Berita Golkar – TINGGAL beberapa bulan lagi, bangsa ini akan segera menggelar hajat akbar demokrasi berupa Pemilu Serentak 14 Februari 2024. Pemilu 2024 nanti, bangsa akan dihadapkan dengan pemilihan Presiden, Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Khusus untuk pemilihan parlemen, kita selalu disuguhi istilah Parliementary Threshold (PT). Hal yang dimaksudkan dengan PT adalah ambang batas minimal perolehan suara Parpol dalam Pemilu untuk bisa mendapatkan kursi di parlemen (DPR). Istilah lain yang sering kita kenal adalah Electoral Threshold (ET), berupa: ambang batas minimal perolehan suara parpol dalam pemilu untuk bisa mengikuti Pemilu lima tahun berikutnya. Tetapi ET tak pernah dipakai dalam rentang sejarah Pemilu di Indonesia.
Baik PT maupun ET sebenarnya bertujuan untuk penyederhanakan sistem kepartaian di Indonesia, dari multiply party (multi partai) ke simplified party (partai sederhana) dalam rangka mewujudkan sistem pemerintahan presidensial yang lebih efisien.
Namun sampai saat ini upaya penyederhanaan partai politik melalui Pemilu belumlah berhasil. Hal ini tercermin dari masih banyaknya partai politik baru yang bermunculan setiap mau pemilu (the new bottle but old wine). Masalah ini bisa terjadi karena tidak sinkronnya regulasi yang mengatur pemilu (UU Pemilu) dan regulasi sistem partai politik (UU Parpol) di Indonesia.
Sejarah PT dalam Pemilu di Indonesia:
Pemilu 2009. PT 2,5 persen.
Pemilu 2014, PT 3,5 persen.
Pemilu 2019, PT 4,0 persen.
Jika dikonversi dengan perolehan kusi, maka sebuah parpol akan lolos PT dalam pemilu yang akan datang (PT 4,0 persen), parpol tersebut harus mampu meraih kursi minimal= 0,04 x 575 = 23 kursi.
Bagaimana jika PT terlalu besar (tinggi)?
Akan banyak parpol tak lolos ketentuan PT. Maka, akan terlalu banyak parpol yang tidak lolos PT, akan menyisakan residu politik berupa banyaknya suara pemilih yang “terbuang” karena tidak akan dihitung dalam menentukan perolehan kursi hasil pemilu. Lagian, jika PT terlalu tinggi, apa bedanya dengan sistim pemilu Distrik (the winer takes all). Padahal sistem pemilu kita memakai rezim Proporsional Terbuka.
Bagaimana kalau PT terlalu kecil atau tak ada PT sama sekali?
Sistem politik kita akan semakin jauh dari upaya penyederhanaan parpol, semakin tak efisien sistem pemerintahan presidensial itu sendiri. Sistem pemerintahan Presidensial yang baik harus ditopang oleh sistem kepartaian yang sederhana.
Jadilah pemilih yang Cerdas
Menjadi pemilih yang cerdas pada Pemilu 2024, bukan sekadar datang dan hadir di TPS pada hari pemungutan suara. Tetapi juga mampu mengkalkulasi secara mandiri azas manfaat nilai suara yang diberikan. Apakah bermanfaat secara electoral atau sekadar menjadi residu politik yang tak bermanfaat sama sekali. Menjelang Pemilu, pemilih sudah harus tahu ke mana suaranya akan diberikan.
Harus mampu menimbang parpol mana yang kira-kira akan lolos PT agar suaranya bermanfaat, tak menjadi residu politik belaka. Maka jadilah pemilih yang cerdas pada Pemilu 2024. {sumber}
Oleh: Cen Sui Lan (Anggota Komisi V DPR RI Fraksi Golkar, Dapil Kepulauan Riau)