DPP  

Jokowi, Golkar, dan Koalisi Besar

Berita Golkar – Setelah KPU resmi mengumumkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai pemenang pilpres 2024, spekulasi masa depan Jokowi mulai diperbincangkan publik. Jokowi dikaitkan dengan kemungkinan sebagai ketua umum Golkar hingga Ketua Koalisi Besar partai politik pendukung Prabowo dan Gibran. Kedua posisi ini tentu memantik percakapan yang relatif serius karena dinilai sangat krusial dan bisa menimbulkan gejolak politik.

Pertama soal Ketua Umum Golkar. Tentu wacana ini tak lepas dari klaim Airlangga Hartarto yang merasa cukup dekat dan seirama dengan Jokowi. Bahkan sepanjang masa kampanye pemilu, Golkar juga terlihat mengamplifikasi video Jokowi dengan tingkat pencapaian prestasi sangat memuaskan. Jokowi juga terlihat lebih nyaman ketika bersama dengan Golkar.

Selintas ada mutual interesting Jokowi dan Golkar. Meski dalam berbagai hal menyimpan begitu banyak kerumitan. Apapun judulnya Jokowi formal masih kader PDIP. Belum ada sejarahnya Golkar dipimpin out sider yang tak punya garis politik dengan partai beringin. Pada saat bersamaan syarat menjadi ketua umum Golkar bukan perkara mudah.

Termasuk membayangkan Golkar, yang notabenenya partai politik besar, mengutamakan meritokrasi, dijejali politisi berpengalaman, rasa-rasanya sulit bagi Jokowi menjadi ketum Golkar. Tak ada celah apapun. Meski begitu suasana politik bisa berubah dalam sekejap. Putusan MK soal syarat pencapresan menjadi bukti sahih ada gempa bumi politik tak terduga di luar nalar manusia biasa.

Publik menduga jika Munas Golkar dimajukan sebelum Oktober 2024, tak dilaksanakan pada Desember akhir tahun sesuai schedule, sangat mungkin Jokowi masuk bursa ketum Golkar. Jika bukan Jokowi langsung mungkin ada orang yang ditengarai sebagai orangnya Jokowi yang akan merebut Gokar.

Sangat menarik menebak motif Jokowi dikaitkan dengan posisi ketum Golkar. Tentu ini tak lepas dari bagaimana Jokowi terus ingin mempertahankan pengaruh politiknya setelah tak jadi presiden. Jika bukan ketum partai besar seperti Golkar, bisa dipastikan Jokowi powerless. Posisinya yang tak lagi presiden membuat Jokowi hanya sebagai warga negara biasa yang tak punya kekuatan apapun. Kejayaannya selama 10 tahun tak akan banyak bicara.

Pertanyaannya adalah apakah Golkar pasrah dan tinggal diam? Jika melihat tanda-tanda alam Golkar mulai melawan. Dukungan ketua DPD Golkar seluruh Indonesia ke Airlangga Hartarto beberapa waktu lalu di Bali sebagai penegas loyalitas dan soliditas Beringin. Sinyal Golkar tak rela diakuisisi pihak eksternal. Secara tata kelola partai politik sangat tak elok jika ada pihak luar mengambil alih partai politik.

Di negara yang demokrasinya tumbuh mekar, partai politik menjadi instrumen politik utama dalam mengendalikan persaingan politik elektoral. Semua lini kehidupan dikendalikan dan dikontrol partai politik. Tak ada sejarahnya demokrasi tanpa partai politik kata ilmuan politik Amerika Elmer Eric Schattscneider (1942). Meski terjadi penurunan tingkat kepercayaan pada partai politik tapi partai politik tetap menjadi variabel utama dalam mengendalikan persaingan politik.

Kedua tentang usul Jokowi sebagai Ketua Koalasi Besar partai politik pendukung Prabowo dan Gibran. Usul yang dalam banyak hal tak ada urgensinya secara politik. Apapun judulnya pimpinan Koalisi Besar sejatinya Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih dan ketua umum partai politik. Legitimasi dan kewibawaan politiknya sangat kuat. Berbeda dengan Jokowi yang masa jabatan politiknya tinggal menghitung bulan dan bukan ketua umum partai politik.

Era Jokowi akan segera berakhir. Realitas ini harus diterima secara lapang dada. Pepatah Jawa mengatakan setiap orang ada masanya. Setiap masa ada orangnya. Siklus politik itu berputar dinamis tak mungkin hanya berputar pada satu aras putaran saja. Kadang ke atas kadang pula ke bawah dan begitu seterusnya. Bahkan putaran politiknya ke samping, sangat veriferial, dan menjadi bagian dari kaum marjinal.

Jangan ada kesan wacana Jokowi sebagai Ketua Koalisi Besar fenomena post power syndrome yang selama ini menjadi problem serius menjangkiti kalangan politisi. Ke depan era Prabowo menjadi sentrum utama, satu-satunya pusat gravitasi politik maha menentukan. Intinya, tak ada yang abadi termasuk kekuasaan.

Dalam tradisi politik barat kekuasaan tak melekat pada individu, tak nempel pada orang, tapi inheren pada nilai-nilai yang sifatnya abstrak. Oleh karena itu, kekuasaan bisa datang dan pergi kapanpun tanpa harus diratapi secara berlebihan. Berbeda dengan tradisi politik Jawa dimana kekuasaan melekat pada individu. Wujud dari kekuasaan adalah personalisasi politik pada sosok orang. Sifatnya absolut, permanen, dan tak tergantikan.

Praktis setelah Prabowo Subianto ditetapkan sebagai pemenang pilpres, pendulum politik mulai berubah. Partai politik internal pengusung seperti Golkar, Demokrat, dan PAN mulai menjadikan Prabowo sebagai faktor determinan. Begitupun partai politik non pengusung perlahan mulai mengalihkan wajah pada Prabowo sebagai titik kunci percaturan politik di masa mendatang.

Meski harus diakui, terlepas siapapun yang mewacanakan Jokowi sebagai Ketua Koalisi Besar dan Ketua Umum Golkar, harus dibaca dalam konteks bahwa Jokowi harus punya peran besar di pemerintahan Prabowo dan Gibran. Jokowi tentu tak mungkin lepas tangan begitu saja mengingat posisi Gibran sebagai wakil presiden yang masih butuh ‘mentor politik’ secara langsung.

Sebab itu, Jokowi butuh sandaran politik setelah tak lagi jadi presiden agar pengaruhnya tetap kuat. Terutama mengantisipasi jika Gibran ‘tak dianggap’ dalam pemerintahan mengingat sosoknya yang hanya wakil presiden, umur masih cukup belia, pergaulan politik nasional masih terbatas, dan bukan ketum partai politik. Dalam konteks inilah Jokowi perlu terus ‘turun gunung’ untuk mengawal Gibran.

Tanda-tanda Gibran mulai ‘tak dianggap’ sepintas lalu mulai terlihat. Banyak momen politik penting yang tak melibatkan Gibran. Misalnya, tak ada Gibran saat Prabowo Subianto menyampaikan pidato politik atas hasil resmi KPU. Prabowo hanya didampingi elite partai politik pengusung. PAN dan Demokrat mengadakan buka puasa hanya bersama presiden terpilih Prabowo Subianto, tapi PAN dan Demokrat tak mengadakan buka bersama atau menyertakan wakil presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka dalam acara mereka. Entah apa yang terjadi. {sumber}

Oleh: Adi Prayitno, Direktur Eksekutif Parameter Politik dan Ketua Laboratorium Politik FISIP UIN Jakarta