DPP  

Kapan Tunai Janji Bakti?

Berita GolkarSetiap kali lagu ‘Gugur Bunga’ berkumandang, selalu saja berlangsung khidmat. Langsung menyelusup ke dalam jiwa: / Telah gugur pahlawanku / Tunai sudah janji bakti /.

Sudah sejak lama kaum ilmuwan luar negeri terheran-heran atas Indonesia. Nama-nama pahlawan berupa plang muncul di setiap ruas jalan. Dari jalanan mulus hingga berkubang. Taman makam pahlawan tersebar berada di setiap daerah, bukan saja di satu tempat. Tulang belulang para pahlawan berserak di seluruh tanah air. Dari yang berusia berabad, hingga puluhan tahun. Sejak melawan pendudukan kapal-kapal asing pertama, merebut kemerdekaan, hingga mempertahankan dengan sepenuh jiwa.

Merdeka atau mati. Patah tumbuh hilang berganti. Gugur satu tumbuh seribu.

Tetapi, apakah kepahlawanan hanya itu?

Tahun ini daya tahan rakyat Indonesia kembali hadir di seluruh jengkal tanah dan air. Setelah pemilihan presiden dan wakil presiden, bersamaan dengan pemilihan legislatif pusat dan daerah, tanggal 14 Februari 2024, kembali rakyat memberikan hak suara terhadap kepala dan wakil kepala daerah pada 27 November 2024 kemarin. Sebelum janji-janji kampanye ditunaikan oleh legislator terpilih dan presiden terpilih, rakyat kembali memberikan suara dalam kontrak sosial bernama pemilihan langsung.

Rakyat telah menggugurkan kewajiban sebagai pemilih dalam pemilu yang tercatat terbesar dan terumit di dunia ini. Dalam tahun 2024 ini, rakyat secara keseluruhan telah menjadi pahlawan demokrasi. Infrastruktur politik Indonesia sudah sangat kokoh untuk mengarungi perjalanan kebangsaan dan kenegaraan sesulit dan semenderita apapun. Rakyat menggugurkan diri dalam barisan teratur ke tempat-tempat pemungutan suara. Dan tak hanya pada hari pemilihan, tetapi berbulan – bahkan bertahun – sebelum itu. Sependek apapun narasi yang diucap atau ditulis atau disikapi oleh rakyat, adalah energi yang membangun seluruh energi besar kebangsaan dan kenegaraan.

Dari tukang sablon, penyebar pamflet, hingga pemasang baliho di jalanan yang sedang banjir, bukanlah petugas negara, melainkan rakyat itu sendiri. Dari buzzer, hater, spin doctor hingga spin control, adalah elemen kerakyatan. Kerelawanan politik bertumbuh baik di Indonesia belakangan. Bukan pemilik modal atau bohir berdana besar. Kalaupun muncul desas – desus tentang Sembilan Naga atau Naga Sembilan, tetap saja berupa desas dan desus. Kalangan korporasi yang beroperasi di Indonesia sudah bukan lagi berasal dari generasi pertama yang berjuang bersama kelompok politikus, kaum intelektual, dan kalangan bersenjata.

Korporasi sudah dikelola oleh generasi kedua, ketiga, bisa juga keempat, tentu dengan modernisasi di segala bidang, baik organisasi atau teknologi. Bakal sulit mencari area minum kopi seperti Jalan Veteran era 1940-an sampai 1970-an, ketika kaum seniman dan agamawan bersama saudagar saling membahas sebait puisi sambil mencangkung. Perimpangan Harmoni sudah bukan lagi kawasan lampu merah yang dipenuhi para pedagang koran, dari pagi, sore, hingga malam.

Informasi Dapur Istana, Belakang Istana dan Depan Istana kini dengan mudah bisa didapat lewat gadget. Atau orasi seorang tokoh demonstran di jalanan. Ongkos politik tak bisa ditaruh di satu keranjang, tetapi makin menyebar. Tak terlihat. Senyap. Demokrasi elektoral semakin menjadi kegiatan filantropis, sekalipun juga dimasuki dan dirasuki oleh kalangan borjuis yang menjalankan model politik jual-beli dalam pasar ekonomi. Swadaya. Swadana.

Sulit membuktikan ada satu kelompok usaha menggelontorkan dana dalam jumlah besar kepada satu atau sejumlah kontestan dalam pemilu atau pilkada. Pedagang batik di belakang Partai X, petani bawang merah di belakang Partai Z, atau sejenisnya, hanya issue dan igauan semata. Dalam satu keluarga batih (nuclear family), semakin terlihat perbedaan pilihan antara anak, bapak, ayah, paman, tante, ponakan, atau menantu. Politik semakin menjadi sangat pribadi, semacam ritual kesunyian, dalam malam penuh hujan, lalu jari jemari bermain di gadget menulis status, mengirim foto, memberikan tanda like atau dislike pada fenomena atau peristiwa politik yang lain.

Hanya jenis politisi angkuh yang menepuk dada akibat abai membaca apa yang terjadi di bumi Indonesia. Ketika dalam era pemerintahan sebelum demokrasi elektoral menjadi pilihan, segala sesuatu yang disebut informasi atau pengetahuan diedarkan secara eceran lewat state aparatus. Dari harga cabe keriting, bawang putih, hingga ‘menurut petunjuk Bapak Presiden’ disampaikan. Tetapi itu bukan keterbukaan, melainkan kontrol atas informasi.

Ketika rakyat begadang di lokasi-lokasi TPS dengan beragam ulah, adat dan budaya, esoknya berbaris memberikan suara, siang bersorak mengikuti proses perhitungan suara hingga selesai, sungguh terselip lagu “Gugur Bunga” itu.

Betapa hati bangsa tak akan sedih, telah gugur kewajiban sebagai warga negara — diluar debat substantif terkait memilih itu hak atau kewajiban — dengan tinta di tangan. Tanda orang-orang merdeka. Punya saham atas sebuah republik. Sementara, negara sebagai hamba sahaya ditinggal sendiri menjalankan nasib di tangan orang atau pihak yang dipilih.

Warga negara adalah pahlawan yang otentik dalam pemilu dan pilkada yang penuh janji-janji kampanye. Menumpuk. Saling silang. Tumpang tindih. Sebagian janji, membusuk.

Tapi, kapan ditunaikan janji bakti kepada warga negara yang jadi pahlawan itu?

Juga kapan negara tak ditinggal sendiri oleh penyelenggara negara yang sibuk mengejar kuasa demi kuasa?

Baik penyelenggara negara yang dipilih atau ditunjuk, setelah seluruh proses selesai, pelantikan tiba, beralih mengambil beban dan amanat penderitaan warga negara. Penyelenggara negara adalah anjing penjaga malam bagi warga negara yang sedang tidur dan bermimpi. Bukan malah penyelenggara negara mengganggu tidur warga negara yang sudah lelah bekerja mencari pajak buat keberlangsungan organisasi bernama negara. Atau lebih sadis lagi, penyelenggara negara membegal mimpi para warga negara, terutama kanak-kanak dan anak-anak yang masih dalam masa pertumbuhan.

Belakangan muncul pandangan dari Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia betapa pemilu dan pilkada yang dilakukan dalam tahun yang sama amat membebani warga negara. Ada kehendak dan usulan untuk memisahkan di tahun yang berbeda. Pandangan seperti itu sah-sah saja, tetapi sebaiknya setelah lima tahun ke depan dijalankan.

Kasih waktu lima tahun bagi penyelenggara negara untuk menunaikan janji bakti untuk warga negara dan negara. Sebab warga negara terbukti semakin kuat dan serempak berbuat untuk demokrasi elektoral, juga merambah bidang lain. Sebut saja pertandingan sepakbola. Bahkan terasa politik berhenti tatkala Timnas Indonesia bermain. Acara-acara politik turun rating.

Pengalaman kami di MADILOG Forum Keadilan TV, setiap kali taping MADILOG ditayangkan pada hari Timnas Indonesia bermain, jumlah viewers menurun drastis. Pertandingan Timnas Indonesia melawan Timnas Bahrain paling membawa dampak terhadap “dunia” podcast politik. Apalagi ketika seorang komika menulis status yang jadi kontroversi berhari-hari. Para politisi sekaligus buzzer-nya, beralih rupa bicara bola. Energi berpindah.

Artinya, secara keseluruhan warga negara sudah memiliki kemampuan dan daya tahan atas masalah apapun. Dari pilkada hingga bola. Dari konser yang gagal hingga perceraian para artis yang entah punya karya apa di bidang musik, film atau seni dan budaya.

Kapan janji bakti itu dibayar tunai, wahai penyelenggara negara? Jenguk-lah ke dalam hati dan kalbu saudara-saudara.

Oleh Indra J Piliang
Sang Gerilyawan Indonesia