Berita Golkar – Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kutai Timur (Kutim) menyoroti capaian realisasi pendapatan pada APBD 2024 lalu.
Dimana, disampaikan oleh Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar Kutim, Kari Palimbong bahwasanya target pendapatan APBD Kutim 2024 lalu sebesar Rp13,06 triliun, namun realisasinya hanya mencapai Rp10,44 triliun atau 79,90 persen.
Capaian tersebut baginya, jelas memperlihatkan adanya permasalahan mendasar dalam akurasi perencanaan, yang seharusnya menjadi landasan utama dalam penyusunan APBD.
“Jadi ketimpangan antara target dan realisasi tidak sekadar angka, melainkan mencerminkan krisis akurasi fiskal yang dapat berimplikasi pada ketidaktercapaian program-program publik,” tegas Kari Palimbong, Rabu (2/7/2025), dikutip dari TribunKaltim.
Lebih dari itu, realisasi PAD Kutai Timur tahun 2024 lalu hanya mencapai Rp532,5 miliar yang dinilai jauh di bawah kontribusi transter pusat sebesar Rp9,81 triliun.
Menurutnya, hal itu menegaskan bahwa struktur pendapatan daerah Kutai Timur sangat sentralistik dan bergantung penuh pada kebijakan fiskal nasional yang bersifat volatile dan penuh ketidakpastian.
Padahal, semangat desentralisasi fiskal sebagaimana tertuang dalam UU No. 23 tahun 2014, menekankan pentingnya penguatan kapasitas daerah untuk mandiri dalam membiayai kebutuhannya.
Tak hanya itu, kemandirian fiskal adalah prasyarat penting dalam meningkatkan efektivitas pembangunan dan responsivitas kebijakan daerah terhadap kebutuhan lokal.
Akan tetapi, yang terjadi di Kutai Timur, kemandirian fiskal justru menjadi titik lemah yang terus berulang, bahkan dalam situasi ekonomi daerah yang relatif stabil dan memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah.
“Nah kondisi tersebut patut dikritisi secara tajam, karena ketergantungan fiskal terhadap transfer pusat rentan terhadap perubahan kebijakan makro nasional,” terangnya.
Selain itu juga, lemahnya PAD menandakan ketidakefektifan optimalisasi potensi lokal eperti retribusi daerah, pajak daerah, serta kontribusi dari BUMD.
Sementara, berdasarkan laporan LKPJ 2024, realisasi pendapatan transfer lainnya hanya 18,30 persen yang menunjukkan indikasi buruknya perencanaan fiskal yang tidak realistis dan cenderung spekulatif.
“Dengan demikian, struktur pendapatan seperti ini bukan hanya masalah angka, tetapi masalah arah kebijakan dan komitmen eksekutif dalam membangun ekonomi daerah berbasis daya saing lokal,” tandasnya. {}