Berita Golkar – Panitia Kerja (Panja) Artificial Intelligence (AI) DPR RI terus memperkuat langkah penyusunan regulasi komprehensif guna menghadapi pesatnya perkembangan teknologi kecerdasan buatan di Indonesia.
Komitmen ini kembali ditekankan melalui Forum Group Discussion (FGD) bertema “Mendorong Terwujudnya Regulasi dan Peraturan Komprehensif Terkait Perkembangan Artificial Intelligence (AI)” yang mempertemukan berbagai pemangku kepentingan dari unsur pemerintah, lembaga siber, komunitas digital, industri riset, hingga akademisi, Jakarta, di Gedung Nusantara III, DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (20/11/2025).
FGD ini menghadirkan narasumber dari Kementerian Komunikasi dan Digital RI (Komdigi RI), Badan Siber dan Sandi Nasional (BSSN), Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial Indonesia (KORIKA), SAFEnet, serta perwakilan akademisi.
Melalui diskusi ini, Panja AI menghimpun perspektif lintas sektor terkait peluang, risiko, hingga kebutuhan kebijakan yang harus segera dirumuskan agar teknologi AI dapat dimanfaatkan secara aman, etis, dan bermanfaat bagi masyarakat luas.
Anggota Panja AI BKSAP DPR RI, Adde Rosi Khoerunnisa menyoroti bahwa perkembangan AI di Indonesia tak lagi dapat dipandang sebelah mata. Teknologi ini telah merambah seluruh lini kehidupan, mulai dari dunia pendidikan, ekonomi, pelayanan publik, hingga keamanan siber.
“Kalau berbicara AI, kita tahu manfaatnya luar biasa besar. Semua sektor sekarang menggunakan AI di dunia pendidikan, ekonomi, sampai siber,” ujarnya saat wawancara kepada Parlementaria usai pertemuan.
Namun, ia mengingatkan bahwa tingginya penetrasi AI harus dibarengi dengan kesadaran terhadap potensi dampak negatifnya. Menurutnya, tanpa pengaturan yang memadai, AI dapat membawa risiko serius bagi masyarakat, terutama generasi muda yang menjadi pengguna digital paling aktif.
“Di satu sisi kita juga harus melihat mudarat atau imbas negatifnya,” tegasnya.
Anggota Komisi Pendidikan DPR RI ini menilai regulasi yang ada saat ini, seperti UU ITE dan UU Pelindungan Data Pribadi, belum cukup untuk menjawab kompleksitas AI. Teknologi ini berkembang begitu cepat sehingga membutuhkan undang-undang spesifik yang mampu mengatur aspek etika, keamanan, transparansi algoritma, serta perlindungan pengguna.
“Kita butuh undang-undang yang betul-betul meregulasi keberadaan AI, bukan hanya Surat Edaran Menteri atau aturan turunan lainnya,” tegasnya.
Lebih jauh, Politisi Fraksi Partai Golkar ini turut menyoroti aspek pendidikan yang kini menjadi salah satu sektor paling terpengaruh oleh perkembangan AI. Dengan adanya kebijakan wajib belajar 13 tahun, peserta didik dari SD hingga SMA kini semakin akrab dengan perangkat digital dan platform berbasis AI.
“Anak-anak akan mengenal, memahami, dan menggunakan AI. Maka, ini harus diregulasi. Pemerintah wajib hadir agar tidak terjadi pelanggaran seperti yang kita lihat sekarang,” lanjutnya.
Ia kemudian menyinggung kasus pengeboman SMA 72 Jakarta yang menggemparkan publik. Pelaku diketahui mempelajari cara merakit bom melalui platform AI. Menurut Adde Rosi, kasus ini harus menjadi alarm bagi pemerintah untuk memperketat pengawasan dan mendorong literasi digital sejak dini.
“Jangan sampai manfaat AI yang luar biasa ini justru dimanfaatkan secara negatif oleh anak-anak yang belum memahami dampaknya,” ujarnya.
Selain dalam dunia pendidikan, Adde Rosi juga mengingatkan potensi ancaman AI terhadap stabilitas demokrasi, khususnya dalam penyelenggaraan pemilu. Fenomena hoaks, disinformasi, manipulasi gambar, hingga deepfake dapat merusak kualitas informasi publik jika tidak diantisipasi melalui kerangka regulasi yang kuat.
“Jangan sampai masyarakat mendapatkan informasi yang tidak jelas, hoaks, atau menyesatkan. Ini penting sekali karena sistem pemilu kita bisa terganggu,” tegasnya.
Melalui FGD ini, Panja AI berharap dapat merumuskan rekomendasi kebijakan yang komprehensif, mencakup aspek keamanan siber, perlindungan data pribadi, etika pemanfaatan teknologi, serta perlindungan kebebasan berekspresi.
Seluruh masukan dari para narasumber akan menjadi bagian penting dalam penyusunan regulasi AI yang adaptif dan berorientasi pada perlindungan publik. {}













