Berita Golkar – Akhir-akhir ini kita diramaikan dengan putusan Presiden memberikan abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto cs. Yang menjadi pertanyaan kita, apakah hakim tidak bisa lagi menilai sebuah kasus dalam proses persidangan sehingga harus ada putusan presiden untuk meluruskan kasus tersebut?
Yang kita tahu, seharusnya hakim mampu bekerja netral dan tanpa tekanan apa pun dalam memutus perkara. Dalam konteks perkara pidana adalah mencari kebenaran formil. Dan hakim harus berdasarkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan, bukan tergiring oleh isu politik atau tekanan lain. Padahal, jika kita lihat, publik sangat berharap ada objektivitas terhadap kasus Tom Lembong.
Dalam berbagai kesempatan saya sampaikan, hakim harus sangat berhati-hati dalam penerapan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3. Karena pasal tersebut riskan, harus dimaknai secara objektif apakah terdakwa menerima aliran dan/atau menikmati hasil tindak pidana korupsi terkait kerugian negara.
Kembali kita kepada kepercayaan publik terhadap hakim yang semakin melemah karena hakim yang dianggap benteng terakhir dalam mencari keadilan, tapi sudah tidak mampu berpijak pada kaki fakta dalam proses peradilan. Sehingga justru harus ada putusan dari presiden dan ini menjadi sentilan keras bagi proses penegakan hukum di Indonesia.
Saat ini, keyakinan hakim tidak lagi menjadi landasan dalam memutus perkara. Padahal dalam teori pembuktian ada istilah conviction intime, dalam memutus perkara penting melihat sisi lain, tidak hanya cukup bukti dan saksi yang menjadi landasan memutus perkara.
Kita berharap hakim bekerja juga atas hati nuraninya, apalagi fakta-fakta hukum sudah jelas dan terang. Dalam kasus Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3, harus ada alat bukti yang membuktikan dirinya dahulu terlebih dahulu diuntungkan, barulah bisa diproses hukum. Tetapi saat ini, setiap perkara yang masuk ke proses peradilan itu belum menjadi acuan dalam setiap putusan.
Oleh Arif Sulaiman
Praktisi dan Pemerhati Hukum
Kader AMPG