Khawatir Duit Asing Minggat, Airlangga Hartarto Pantau Secara Intensif Kondisi Ekonomi AS

Berita Golkar – Perekonomian global benar-benar sulit ditebak. Negeri semaju Amerika Serikat (AS) saja, ekonominya morat-marit bahkan diprediksi kena resesi. Hal ini, bisa-bisa membuat Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto sulit tidur nyenyak.

Ternyata, Airlangga khawatirkan dampaknya jika benar resesi ekonomi harus dialami AS. Yakni, aliran modal asing atau capital outflow ramai-ramai meninggalkan pasar keuangan Indonesia.

Saat ini, kata Airlangga, pemerintah masih dalam sikap mencermati kondisi yang bisa betul-betul terjadi. Diharapkan, tingkat suku bunga acuan AS yakni Fed Fund Rate (FFR) bisa turun di kuartal IV-2024. “Yang terkait AS tentu kita terus monitor dan tentu kita berharap tingkat suku bunga AS di kuartal IV bisa turun walau belum ada yang bisa jamin,” tegas Airlangga.

Sejatinya, kata dia, perbedaan atau gap antara tingkat suku bunga di AS (FFR) dengan tingkat inflasi di Indonesia saat ini, sudah terlampau jauh. Namun, tingkat suku bunga acuan yang tinggi, dibutuhkan untuk mencegah kaburnya aliran modal asing ke AS.

“Karena tentu kita lihat tingkat suku bunga kita dengan inflasi gapnya agak tinggi, tapi kita tahu kita harus juga jaga supaya tidak terjadi capital flight,” tegas Airlangga.

Potensi resesi AS muncul setelah rilis data pasar tenaga kerja di negeri Paman Sam yang melambat tajam dan beberapa data ekonomi AS yang cenderung mengecewakan.

Data pasar tenaga kerja mengalami perlambatan tajam. Dimulai dari klaim pengangguran naik signifikan ke 249.000, melampaui ekspektasi yang proyeksi hanya naik 1.000 ke 236.000 klaim.

Sehari kemudian, kondisi pasar tenaga kerja yang melambat semakin dikonfirmasi dengan data pekerjaan tercatat di luar pertanian (non-farm payrolls/NFP) yang hanya bertambah 114.000, jauh dari estimasi pasar yang proyeksi adanya penambahan tenaga kerja 179.000 ke 175.000 pekerjaan.

Head of Equity Research Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro angka NFP yang baru dirilis. Angka NFP aktual pada April-Juni, hanya direvisi 27.000-67.000 lebih rendah, sedangkan angka Maret justru direvisi lebih tinggi. Ini mencerminkan kekuatan pasar tenaga kerja di AS, sedang berlangsung.

Dia meyakini, AS tidak akan mengalami resesi. Pasalnya, inflasi belum benar-benar turun. “Karena AS akan memompa lebih banyak uang dan merangsang ekonomi menjelang pemilihan umum November,” paparnya.

Satria mengungkapkan aksi jual pasar baru-baru ini mungkin berasal dari strategi carry trade yen, bukan resesi AS.

Sebagai catatan, carry trade adalah strategi perdagangan yang sangat populer di mana investor meminjam dari negara dengan suku bunga rendah dan mata uang yang lebih lemah.

Kemudian, dana tersebut diinvestasikan ke negara lain dengan tingkat pengembalian (imbal hasil) yang lebih tinggi. Strategi ini menjadi salah satu sumber kas terbesar di pasar mata uang global.

Adapun, Ekonom Bank Danamon Indonesia, Hosianna Evalita Situmorang menilai resesi ekonomi di AS kemungkinan besar akan berpengaruh buruk bagi perekonomian Indonesia.

Dia mengatakan akan terjadi modal keluar dari Indonesia untuk mencari negara atau aset yang dianggap lebih aman. “Karena flight to quality, investor akan cari negara atau aset yang lebih aman,” kata dia. {sumber}