Berita Golkar – Anggota Komisi III DPR sekaligus Dosen Tetap Program Pascasarjana Doktor Hukum Universitas Borobudur Bambang Soesatyo menegaskan perlunya pembenahan menyeluruh di Mahkamah Konstitusi (MK) pasca-serangkaian polemik yang terjadi. Mulai dari pemberhentian Hakim Konstitusi Aswanto oleh DPR pada 2022 hingga Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang melahirkan norma baru dengan memisah antara Pemilu nasional dan Pemilu daerah.
“MK adalah benteng terakhir penjaga konstitusi. Kalau benteng ini retak, seluruh bangunan demokrasi kita ikut goyah. Karena itu pembenahan tidak bisa lagi ditunda,” ujarnya, saat menjadi penguji internal dalam ujian sidang terbuka mahasiswa Program Pascasarjana Doktor Hukum Universitas Borobudur Achmad Taufan Soedirdjo, dengan disertasi “Rekonstruksi Rekruitmen Hakim Mahkamah Konstitusi oleh Panel Ahli Melalui Lembaga Perwakilan”, di Universitas Borobudur, Jakarta, Sabtu (13/9/2025), dikutip dari RakyatMerdeka.
Hadir sebagai penguji antara lain Ketua Sidang Prof. Bambang Bernanthos, Promotor Prof. Zainal Arifin Hoesein, Ko-Promotor Ahmad Redi, Penguji Internal Prof. Faisal Santiago, serta Penguji Eksternal Ibnu Sina Chandranegara.
Bamsoet, sapaan akrab Bambang, memandang diperlukan sistem baru dalam mekanisme rekrutmen agar benar-benar dapat melahirkan seorang hakim yang tegak lurus pada konstitusi dan bersedia menandatangani Pakta Intergritas guna menjaga marwah MK agar tetap konsisten sebagai negative legislator. Baik hakim itu dari kamar DPR (legislatif), Mahkamah Agung (yudikatif), maupun Presiden/Pemerintah (eksekutif).
“Kita tidak bisa lagi membiarkan proses seleksi yang tanpa komitmen kebangsaan sebagai benteng terakhir penjaga konstitusi,” tegas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menuturkan, krisis legitimasi MK semakin dalam setelah peristiwa hukum terakhir dengan keluarnya Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisah Pemilu nasional dan Pemilu daerah. MK tidak hanya menetapkan waktu penyelenggaraan Pemilu secara terpisah, tetapi juga menentukan tenggat waktu maksimal dua tahun enam bulan setelah pelantikan Presiden dan DPR, untuk menggelar Pilkada dan Pileg DPRD.
Kata dia, putusan itu menimbulkan perdebatan tajam karena MK dinilai melangkah lebih jauh dari kewenangan sebagai negative legislator. MK menciptakan norma baru yang semestinya hanya dimiliki DPR bersama Pemerintah.
“Putusan yang mengisi kekosongan hukum dengan norma baru akan menimbulkan bias politik sekaligus mengaburkan pemisahan kekuasaan yang sudah diatur tegas dalam UUD 1945,” kata Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Alumni Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran (PADIH UNPAD) ini menjelaskan, sejumlah pembenahan harus segera dilakukan. Langkah pertama adalah mereformasi sistem seleksi hakim konstitusi. Mekanismenya harus terbuka dan akuntabel, melibatkan panel independen dari kalangan akademisi, Komisi Yudisial, serta perwakilan masyarakat sipil.
Selain itu, mekanisme pemberhentian hakim juga harus diperbaiki. Pemberhentian harus dilakukan secara tegas tanpa pandang bulu jika terbukti ada pelanggaran etik atau integritas, melalui putusan Mahkamah Kehormatan atau badan etik independen.
“Perlu pula dilakukan penguatan Dewan Etik MK agar lebih berwibawa. Dewan Etik harus berfungsi seperti Mahkamah Kehormatan Hakim, berwenang melakukan penyelidikan mendalam atas dugaan pelanggaran etik hakim MK,” urai Bamsoet.
Wakil Ketua Umum/Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini juga menekankan pentingnya constitutional compliance antar lembaga negara. DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung harus sama-sama menahan diri agar tidak menggunakan kewenangan politik mereka untuk mengintervensi independensi MK.
“MK juga harus kembali ke rel konstitusional sebagai negative legislator. Artinya, MK cukup menyatakan norma undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 dan memberi tenggat waktu kepada DPR untuk memperbaikinya. Bukan membuat norma baru,” pungkas Bamsoet. {}