Berita Golkar – Wakil Sekretaris Balitbang DPP Partai Golkar sekaligus Wasekjen DPP AMPI, Leriadi, menilai bahwa keputusan Presiden Prabowo Subianto yang secara resmi menetapkan Presiden Kedua Republik Indonesia, Jenderal Besar H.M. Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 2025, merupakan langkah bersejarah dan berkeadilan.
Menurut Leriadi, pengakuan negara terhadap jasa besar Presiden Soeharto bukan semata bentuk penghormatan personal, melainkan penegasan atas peran penting beliau dalam menyelamatkan bangsa Indonesia dari kehancuran ideologi, politik, dan ekonomi pasca peristiwa G30S/PKI.
“Penganugerahan ini adalah keputusan yang berkeadilan dan berbasis sejarah. Presiden Soeharto telah berjasa besar mempertahankan Pancasila dari ancaman komunisme, menegakkan kembali UUD 1945 secara murni dan konsekuen, serta menata sistem pemerintahan dan ekonomi nasional yang stabil,” tegas Leriadi.
Ia menjelaskan, peristiwa G30S/PKI tahun 1965 menjadi titik balik sejarah bangsa ketika ideologi Pancasila hampir tergantikan oleh komunisme. Dalam situasi itulah, kata Leriadi, Soeharto tampil sebagai tokoh penyelamat bangsa, menegakkan kembali eksistensi Pancasila sebagai dasar negara dan menjaga agar Indonesia tidak jatuh ke dalam sistem politik ateistik dan diktator.
“Kalau kita lihat dari sisi ideologi, Komunisme dan Pancasila memiliki perbedaan mendasar. Komunisme menolak keberadaan Tuhan dan kebebasan individu, sementara Pancasila justru menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai fondasi kehidupan berbangsa,” ungkapnya.
Leriadi menambahkan bahwa di bawah kepemimpinan Soeharto, Indonesia kembali melaksanakan Pemilu secara reguler, menata stabilitas nasional, dan melaksanakan pembangunan ekonomi yang terukur. Dalam tiga dekade pemerintahan Orde Baru, Indonesia mengalami kemajuan pesat di berbagai bidang, mulai dari infrastruktur, pendidikan, pertanian, hingga industrialisasi.
“Kita harus jujur melihat sejarah secara utuh. Presiden Soeharto bukan hanya pemimpin militer, tapi juga arsitek kebangkitan nasional setelah kekacauan era Demokrasi Terpimpin. Ia membangun sistem pemerintahan yang efektif, ekonomi yang tumbuh konsisten, dan birokrasi yang relatif stabil,” ujar Leriadi.
Lebih lanjut, ia menilai bahwa bangsa besar adalah bangsa yang berani menempatkan sejarah secara proporsional. Banyak negara lain di dunia, seperti Tiongkok dengan Mao Zedong atau Turki dengan Mustafa Kemal Atatürk, tetap menghormati pemimpin masa lalunya meski penuh dinamika dan kontroversi.
“Tidak ada pemimpin yang sempurna. Tetapi bangsa yang besar tidak menghapus sejarahnya — ia belajar dan menghormati pemimpinnya. Begitu pula Indonesia harus menilai jasa Presiden Soeharto secara adil dan berimbang,” tambah Leriadi.
Dalam pandangan Leriadi, keputusan memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto juga memiliki dimensi moral dan spiritual. Ia mengutip firman Allah SWT dalam Surah Al-Māidah ayat 8, yang menegaskan pentingnya berlaku adil meskipun terhadap pihak yang pernah dibenci:
“Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.”
“Ayat ini menjadi pengingat bahwa dalam menilai sejarah, kita wajib adil. Kebencian atau fanatisme politik tidak boleh menutup mata terhadap fakta dan jasa besar seseorang,” ujar Leriadi.
Menutup pernyataannya, Leriadi menegaskan bahwa penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Soeharto adalah keputusan yang tepat, layak, dan berkeadilan. Keputusan ini sekaligus menjadi momentum reflektif bagi bangsa Indonesia untuk kembali meneguhkan semangat Pancasila dan menghargai jasa para pemimpin yang telah menjaga kedaulatan dan keutuhan negara.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati pahlawannya. Dan sejarah akan mencatat bahwa pada masa paling genting dalam perjalanan Republik, Jenderal Besar H.M. Soeharto berdiri tegak sebagai penyelamat bangsa dan penegak Pancasila,” tutup Leriadi.













