Berita Golkar – Bung Hatta pernah menulis ‘Persatuan Indonesia, Bukan Persatean Indonesia’. Persatuan berarti menempatkan identitas dari masing-masing kelompok atau suku bangsa sebagai akar tunjang yang menyuburkan keindonesiaan. Sementara persatean berarti pemaksaan kehendak dengan cara menusuk identitas kelompok atau suku bangsa untuk dijadikan ‘mangsa’ nasionalisme.
Tulisan itu langsung teringat oleh saya, ketika mulai melakukan tabulasi atas 49 nama yang dipanggil ke Jalan Kertanegara, kediaman Presiden Terpilih Prabowo Subianto. Ke-49 nama itu kemungkinan besar menjadi anggota kabinet mendatang, tentu ditambah dengan sejumlah nama lagi hari ini, termasuk pada posisi Wakil Menteri.
Bagaimana tidak, ketika masing-masing nama mulai saya arsir dan kelompokan berdasarkan afiliasi politik dan latar belakang, juga keahlian dan keilmuan, mulai terlihat betapa yang terjadi bukanlah persatuan dari sumber daya manusia Indonesia, tetapi malah persatean. Sejumlah nama tak berhasil saya temukan tempat dan tanggal lahir mereka di internet. Betul, saya hanya melakukan penelusuran selama beberapa jam, sembari juga berkomunikasi dengan sejumlah pihak. Sebagai analis politik, saya terbiasa bekerja dengan proses ini.
Terbaca sekali kalau apa yang saya sebut sebagai Kabinet Kartanegara ini lebih terlihat dibangun dengan emosional, ketimbang rasional. Pencomotan Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal sejumlah partai politik, termasuk Ketua Terpilih Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia yang belum dua minggu menjabat, adalah proses rekrutmen politik lewat jalan pintas. Padahal proses pemilihan berlangsung emosional. Partai politik seperti dicabut dari akar alamiahnya, yakni lembaga legislatif. Para senator yang sudah melangsungkan proses pemilihan paket pimpinan, diamputansi pada posisi puncak.
Bagaimana bisa partai politik bisa menjalankan tugas-tugas berat di masa datang, usai kontestasi pemilihan umum yang luar biasa tegang, ketika dua pimpinan terpenting diboyong sebagai menteri. Beberapa baru dipilih dalam proses Kongres, Muktamar atau Musyawarah Nasional. Pimpinan partai politik diluar nereka akan menjadi ornamen boneka semata, tak punya kewenangan mengambil keputusan, termasuk yang sedang menjalankan tugas sebagai legislator, kepala dan wakil kepala daerah, hingga pejabat fungsional lain di pemerintahan dan luar pemerintahan.
Dengan begitu banyaknya ‘bantuan’ yang sudah dilakukan oleh pemerintahan Joko Widodo, termasuk dalam pemberian anggaran yang sudah diundang-undangkan, minimal dalam setahun ke depan, tidak bakal ada keputusan berat yang bakal dihadapi oleh pemerintahan terpilih. Sebut saja semacam mengesahkan Undang-Undang tentang Cipnaker yang menyulut perlawanan bergelombang massa aksi itu. Perjalanan kabinet dalam setahun ke depan akan jauh lebih santai, dibandingkan dengan tahun pertama Pemerintahan Jokowi – Jusuf Kalla yang hanya dalam posisi melanjutkan yang sudah diputuskan pemerintahan sebelumnya.
Yang juga menarik, dari 49 nama itu, hanya satu nama yang sudah dipastikan dengan jabatan yang hendak dijalankan. Siapa lagi kalau bukan Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan RI 2024-2029. Di luar nama Mbak Ani, publik hanya mampu menebak, bahkan meraba-raba. Terkecuali sejumlah nama yang langsung disebutkan jabatan.
Artinya, sebegitu banyak para ahli dan ilmuwan, tentu langsung tahu ketika nama seseorang disebut, bakan menjadi menteri bidang apa. Kenyataan ini menunjukan bahwa siapa saja yang dipanggil, bersedia ditempatkan di kementerian mana saja. Suatu kondisi yang juga dialami oleh menteri-menteri Kabinet Pembangunan Presiden Soeharto. Bedanya? Mereka menempati pos ‘apapun’ itu, setelah menjadi menteri senior, atau dipilih lebih dari dua periode menjadi menteri.
Secara politik, Kabinet Kartanegara ini langsung ‘memukul’ lawan-lawan politik tanpa basa-basi. PDI Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Nasdem, dan Partai Persatuan Pembangunan, sama sekali tak dipanggil pimpinan atau kader mereka. Sudah dipastikan keempat partai politik ini bakal ‘menjadi partai oposisi’, sekalipun terminologi itu salah kaprah.
Yang juga tak tampak tertera adalah Urang Awak alias Etnis Minangkabau. Nama Minang yang familiar: Yassierli. Betul, terdapat nama Fadli Zon Pitopang sebagai salah seorang yang bakal menjadi menteri. Fadli juga menjadi Ketua Umum Ikatan Keluarga Minang. Hanya saja, sosok Fadli lebih kental dengan uniform Partai Gerindra selama ini, ketimbang apa yang secara demografis dan etnografis disebut sebagai Urang Awak. Fadli sudah menjadi sahabat selapik seketiduran saya selama lebih dari 30 tahun.
Apakah’hukuman’ ini pantas bagi Urang Awak? Entahlah. Yang jelas, sejumlah tokoh Aceh atau kelahiran Aceh, tampak bertandang ke Jalan Kartanegara. Sumatera Barat dan Aceh adalah dua provinsi yang ‘mengalahkan’ pasangan Prabowo – Gibran dalam Pilpres 2024 lalu.
Tetapi baiklah, saya tidak akan masuk kepada subtansi yang bisa langsung dibaca setelah seluruh tabulasi data dilakukan. Yang saya mau bicarakan: bagaimana birokrasi sebagai tiang dan pancangnya pemerintahan menerima kehadiran kabinet dengan gaya cowboy ini? Kabinet kavaleri. Seorang presiden atau partai politik yang memenangkan satu kontestasi, hanyalah pihak yang memberikan warna cat yang berbeda dengan sapuan dan model ‘grafiti’ yang sesuai selera dan ‘program’ mereka. Tetapi dibalik warna itu, terdapat tiang pancang birokrasi dengan sejarah yang panjang dan sumberdaya manusia yang semakin berkualitas.
Birokrasi yang menjadi public servant ketika para politisi atau menteri sedang sibuk menyortir foto mana yang dimuat dalam akun official media sosial mereka, demi proyek cat bergincu pencitraan. Apakah birokrasi bakal berjalan seperti bebek lumpuh, auto pilot, atau malah ‘berubah’ menjadi dayang-dayang dan patih-patih era monarki di banyak sudut nusantara ini? Para pemimpin yang tiba, beserta para menteri dan gubernur, langsung ditasbihkan sebagai keturunan darah biru. Demokrasi lindap, berganti monarki, walau tak terus-menerus.
Seperti mimpi saya satu dekade lalu dengan mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Jokowi yang hendak menyusun kabinet, tentu keadaan yang mirip hinggap di dalam pikiran dan perasaan. Namun mimpi atas kepemimpinan Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih tentu lebih materialistik, logis, dan dialektis, berhubung banyak pikiran beliau sudah saya simak dan baca. Belum lagi apa yang ditulis oleh Prof Dr Soemitro Djojohadikusumo dan kerabat dekat Pak Prabowo lain.
Presiden Jokowi sama sekali hadir di pucuk pemerintahan tanpa meninggalkan jejak teks yang jelas, sekalipun tipis, diluar cerita sebagai tukang kayu. Sementara teks Prabowo begitu tebal dalam sejumlah buku. Nah, bagaimana teks itu berubah menjadi pasukan tempur untuk lima tahun mendatang, sama sekali tak bisa dilihat dan ditelisik dalam Kabinet Kartanegara.
Tetapi apapun itu, satu hal yang pasti, adalah kebahagiaan sebagai seorang kawan, sahabat, atau senior dan junior, bagi begitu banyak nama yang bukan saja saya kenal, tetapi dekat. Nama-nama yang bahkan sudah tiga dekade menjadi si tawar dan si dingin dalam hubungan kami. Nama-nama yang saya kenali kiprah mereka, maupun kemampuan mereka, baik di bidang politik, apalagi lapangan keilmuan dan profesionalitas. Kepada mereka saya ikut bersandarkan punggung. Sandar-menyandar dalam satu jalinan persatuan generasi aktivis mahasiswa era 1980-an dan 1990-an. Apapun nomenklatur kementerian yang diberikan kepada mereka, saya lebih dari sekadar yakin, mereka bakal menjalankan dengan baik. Tinggal lagi, bagaimana memisahkan atau menyatukan sejumlah jabatan eselon satu dan dua yang semula berada di bawah payung kementerian yang sama, kini dipisahkan.
Kesempatan tentu wajib diberikan kepada Kabinet Kartanegara ini, sebagaimana harapan atas Ekspedisi Pamalayu yang berisi banyak perwira usia muda yang menyapu lautan ke arah barat. Mereka menghumbalangkan para bajak laut yang ganas di area yang dilalui, termasuk dalam aliran Sungai Musi. Medan pertarungan seperti apa yang mereka akan hadapi, dan bagaimana mereka bertarung, adalah keindahan dan kerinduan tersendiri bagi saya guna menjadi saksi sejarah nanti.
Dunia tidak sedang baik-baik saja. Bahwa kabinet ini adalah kabinet perang yang langsung terjun ke medan laga, tentu tak bisa dihindari lagi. Tak ada lagi Pandawa, hilang sudah Kurawa, bagi satu kesatuan perjuangan dalam hari-hari mendatang.
Dan izinkan saya mencatat setiap torehan pekerjaan mereka, walau tentu terkadang dengan tusukan setajam taring seekor hiu di Lautan Hindia.
Selamat bertugas, Kamerad!!!
Jakarta, Selasa, 15 Oktober 2024
Oleh Indra J Piliang
Sang Gerilyawan Indonesia