Berita Golkar – Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Maman Abdurrahman menyayangkan kejadian longsor di tambang emas ilegal di Desa Tulabolo, Kabupaten Bone Bolango, Kecamatan Suwawa Timur, Gorontalo yang menewaskan 27 orang, dan 15 orang lainnya masih hilang. Menurutnya, hal ini seharusnya bisa diantisipasi jika mereka mengikuti aturan perundang-undangan yang ada, mengingat hal ini juga terjadi karena kondisi ekonomi masyarakat.
“Karena perangkat-perangkat hukum, aturan-aturan perundang-undangan sebetulnya sudah memberikan ruang sebesar-besarnya untuk meminimalisir atau mengantisipasi terjadinya problematika tambang illegal di bawah. Ini kan berangkat dari kondisi ekonomi masyarakat yang sebetulnya ingin mencari tambahan untuk kebutuhan hidup. Maka dari itu sebetulnya kita melihatnya dari perspektif yang jauh lebih objektif,” katanya kepada Parlementaria usai mengikuti Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi VII di Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Selasa (16/7/2024).
Menurut Maman, di dalam Undang-Undang Minerba yang telah disahkan secara konstitusi, negara memberikan ruang atau kesempatan bagi masyarakat untuk memiliki izin pertambangan rakyat (IPR), di mana dalam izin tersebut tambang milik pribadi diberikan kesempatan kurang lebih 5 hektar, dan milik badan atau koperasi diberikan kurang lebih 10 hektar.
“Sebetulnya kita berikan ruang, namun memang mungkin nanti ke depan yang perlu kita dorong adalah sosialisasi kepada masyarakat-masyarakat dan kepala-kepala daerah. Ini memang dituntut untuk proaktif kepala daerah (baik) bupati dan gubernur di daerah masing-masing, itu sebetulnya sudah ada cantelan aturannya itu perundang-undangannya sebagai salah satu solusi untuk menangani situasi-situasi seperti ini,” ungkap Politisi Fraksi Partai Golkar ini.
Namun, khusus untuk kejadian longsor di tambang emas ilegal di Gorontalo ini dirinya mendorong para aparat penegak hukum yang memang harus berani menindaktegas oknum-oknum atau kelompok-kelompok yang memang masih memberikan ruang atau kesempatan pada praktek-praktek ini.
“Karena pada akhirnya yang dirugikan masyarakat dan negara, kenapa? yang seharusnya tadi negara bisa mengutip pendapatan di situ akhirnya tidak mendapat pendapatan, lalu akhirnya masyarakat juga jadi dirugikan korban nyawa korban segala macamnya, saya pikir disitu ya,” tuturnya.
Maman pun mendorong aparatur penegak hukum untuk mensosialisasikan terkait IPR tersebut. Karena, tegasnya, kata kunci dari persoalan ini salah satunya memang dukungan dari aparatur penegak hukum, baik itu di tingkat kabupaten, tingkat provinsi dan juga di pusat.
“Tidak kalah pentingnya kalau dari sisi yang lebih besar lagi yaitu realisasi percepatan pengurusan RKAB. Karena terkadang situasi ini terjadi karena approval RKAB terlambat, akhirnya orang ataupun pemilik-pemilik IUP lebih cenderung melakukan praktek-praktek Ilegal. Karena dia berpikir gua ngurusin yang legal-legal saja susah akhirnya mereka lebih memilih praktek yang ilegal. Jadi ini kompleks, tapi kalau dari sisi jangka pendeknya saya rasa segera untuk kepala daerah untuk mendorong pembentukan izin pertambangan rakyat di masing-masing daerahnya,” tandasnya.
Terkait dengan RKAB (Rencana Kegiatan Anggaran Biaya) pun harus dievaluasi proses pengurusannya. Karena saat ini seluruh pengurusan IUP dan RKAB dibebankan kepada pemerintah pusat, meskipun saat ini RKAB berlaku selama 3 tahun, tidak lagi 1 tahun seperti sebelumnya, namun beban personel Kementerian ESDM yang mengurus hal tersebut juga perlu diperhitungkan.
“Ada satu lagi yang mungkin menurut saya perlu ini menjadi perhatian khusus pasca UU Minerba itu disahkan. Dulu kan perizinan IUP itu kan (menjadi wewenang) di kabupaten dan provinsi dan sekarang itu kan ditarik semua ke pusat. Artinya, beban kerja pusat akan bertambah, yang tadinya mungkin personel cuma 10 orang atau 20 orang ngurusin 500 IUP, sekarang rata-rata mungkin personel 10-20 orang dia ngurusin hampir seribu IUP. Kita mendorong ini juga saran usulan kami juga segera memecah Direktorat Mineral (KESDM),” tegasnya.
Bukan tanpa alasan Maman mengusulkan hal tersebut. Sebab, di dalam Direktorat Mineral KESDM, di dalamnya meliputi nikel, bauksit, tembaga, emas, yang tentunya dengan kompleksitas permasalahan yang berbeda-beda. Tidak seperti batubara yang sudah memiliki direktorat tersendiri.
“Tapi kalau yang (menjadi wewenang) di direktorat mineral itu banyak sekali. Ada emas tembaga dan lain-lain, sehingga kita mendorong ini agar ini dipecah, mungkin bisa dilihat berdasarkan pendekatan apa segala macam, tetapi kita mengusulkan agar (direktorat) ini dipecah. Supaya fokus kerja ESDM juga sudah mulai bebannya juga disebar didistribusikan ke beberapa direktorat khususnya mineral,” tutupnya. {sumber}