Berita Golkar – DPD I Partai Golkar Sulawesi Selatan (Sulsel) menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK). MK telah memutuskan penghapusan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen pada Kamis (2/1/2025).
Sekretaris DPD I Partai Golkar Sulsel, Andi Marzuki Wadeng menyebut putusan ini sebagai peluang baru bagi seluruh partai politik, khususnya partai kecil yang gagal lolos ke parlemen berdasarkan hasil rekapitulasi.
“Dengan demikian, semua partai politik bisa lebih berkontribusi dalam kontestasi Pemilu 2029. Pemilu 2029 bisa jadi bakal banjir capres-cawapres,” ujar Marzuki Wadeng kepada Tribun-Timur, Jumat (3/1/2025).
Namun, lanjutnya, keputusan ini tidak serta-merta berlaku tanpa aturan teknis. “Perlu tindak lanjut berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) atau Undang-Undang (UU) sebagai landasan pelaksanaannya,” tambah Marzuki Wadeng.
Menurutnya, penghapusan ambang batas pencalonan presiden memberi kesempatan lebih luas bagi partai kecil untuk mengusung capres-cawapres. Meski demikian, Marzuki menegaskan bahwa faktor penentu tetap suara terbanyak.
“Bagi partai-partai besar, kami tidak merasa dirugikan. Basis dukungan kami sudah kuat. Justru yang perlu bekerja lebih keras adalah partai kecil yang ingin maju sendiri tanpa koalisi,” tegasnya.
Sebelumnya diberitakan, MK mengabulkan permohonan perkara 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Enika Maya Oktavia dan timnya, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Permohonan tersebut terkait penghapusan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo di ruang sidang utama, Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).
MK menyatakan pengusulan presidential threshold yang tertuang dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa frasa “perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya” dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah nasional atau persentase jumlah kursi DPR di pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Selain itu, MK menilai penentuan besaran ambang batas tersebut tidak didasarkan pada penghitungan jelas dengan rasionalitas yang kuat.
Mahkamah juga menganggap penentuan ambang batas pencalonan pilpres cenderung menguntungkan parpol besar atau setidaknya memberi keuntungan bagi parpol peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR. MK menyatakan penentuan ambang batas pencalonan pilpres itu memiliki kecenderungan benturan kepentingan.
Mahkamah menilai pembatasan tersebut dapat menghilangkan hak politik dan kedaulatan rakyat, karena dibatasi dengan tidak tersedianya cukup banyak alternatif pilihan pasangan calon.
Selain itu, setelah mempelajari arah pergerakan politik Indonesia, MK mencatat kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat dua paslon.
Padahal, pengalaman sejak pemilu langsung menunjukkan bahwa dengan dua paslon, masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang dapat mengancam keutuhan kebhinekaan Indonesia.
Bahkan, jika pengaturan ini dibiarkan, pemilu presiden dan wakil presiden bisa terjebak pada calon tunggal.
Kecenderungan calon tunggal juga terlihat dalam pemilihan kepala daerah yang semakin banyak melahirkan calon tunggal atau kotak kosong.
Artinya, mempertahankan ambang batas presiden berpotensi menghalangi pelaksanaan pilpres secara langsung dengan menyediakan banyak pilihan pasangan calon.
“Jika itu terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 akan hilang atau setidaknya bergeser,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Berkenaan dengan itu, MK juga mengusulkan kepada pembentuk undang-undang dalam revisi UU Pemilu untuk merekayasa konstitusional, meliputi:
Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Pengusulan pasangan calon oleh partai atau gabungan partai tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
Dalam mengusulkan pasangan calon, parpol peserta pemilu dapat bergabung sepanjang tidak menyebabkan dominasi parpol atau gabungan partai sehingga mengurangi pilihan paslon.
Partai yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu berikutnya. Rekayasa konstitusional termasuk perubahan UU 7/2017 harus melibatkan partisipasi publik yang bermakna.
“Telah terbukti bahwa ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 tidak sejalan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak memperjuangkan diri secara kolektif, serta kepastian hukum yang adil,” kata Saldi. {}