Melchias Mekeng Tawarkan Obligasi Daerah Jadi Opsi Pembiayaan Daerah dan Instrumen Investasi Publik

Berita GolkarKetua Fraksi Partai Golkar MPR RI, Melchias Markus Mekeng, menegaskan urgensi kemandirian fiskal daerah di tengah pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) dalam APBN 2026. Dalam serangkaian diskusi nasional mengenai peluang obligasi daerah sebagai instrumen pembiayaan pembangunan, Melchias Mekeng menempatkan isu ini sebagai langkah strategis agar daerah tidak terus bergantung pada APBN.

Menurut Mekeng, arah kebijakan fiskal yang mendorong daerah mencari sumber pembiayaan alternatif bukan sekadar penyesuaian teknis, tapi upaya memperkuat kapasitas fiskal nasional agar tidak membebani anggaran pusat secara berlebihan.

Penegasan itu ia sampaikan dalam sejumlah forum, termasuk Sarasehan Nasional bertema “Obligasi Daerah sebagai Salah Satu Alternatif Pembiayaan Daerah dan Instrumen Investasi Publik” di Kantor Gubernur Sulawesi Utara, Manado.

Dalam kesempatan tersebut, Mekeng menyampaikan bahwa semangat otonomi daerah sejak 1998 belum berjalan optimal karena ketergantungan daerah terhadap anggaran pusat masih terlalu dominan.

“Kalau bangsa ini tidak mengambil langkah, kapasitas fiskal pusat semakin tipis. Dengan kepemimpinan Pak Prabowo, pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) menjadi cara agar daerah lebih mandiri dan mencari alternatif pembiayaan selain APBN,” ujar Mekeng.

Ia juga menilai bahwa penerbitan obligasi daerah menjadi pilihan paling rasional bagi pemerintah daerah dalam situasi fiskal hari ini. Menurutnya, Presiden Prabowo Subianto memang tengah mengarahkan daerah untuk berani mencari skema pembiayaan baru yang tidak selalu bersandar pada APBN.

“Presiden mulai melatih daerah untuk mandiri. Daerah jangan hanya mengandalkan anggaran pusat. Salah satu alternatif pembiayaan pembangunan adalah obligasi daerah,” kata Mekeng dalam keterangannya di Jakarta.

Legislator Partai Golkar asal NTT ini menegaskan pentingnya langkah cepat agar pelemahan kapasitas pembiayaan tidak berdampak lebih jauh pada pertumbuhan daerah.

Ia mengatakan, jika daerah tidak segera menyiapkan sumber pembiayaan lain, dikhawatirkan pertumbuhan ekonomi daerah akan melemah dan berdampak pada ekonomi nasional. Di forum Manado, Mekeng juga menekankan bahwa obligasi daerah bukan instrumen baru di dunia. Banyak negara telah menerapkannya secara masif.

Sejumlah negara dan kota telah berhasil memanfaatkannya, seperti Las Vegas di Amerika Serikat, sejumlah kota di Kanada dan Swiss, hingga ratusan pemerintah daerah di Cina dan Jepang. “Keuntungan obligasi daerah adalah uang berputar di dalam negeri. Investor lokal bisa menanamkan modal di daerahnya sendiri,” ucap Mekeng.

Selain memberi ruang pembiayaan, Mekeng menilai obligasi daerah membuka partisipasi masyarakat secara langsung. “Publik bisa menjadikan obligasi daerah sebagai alternatif investasi selain deposito atau saham. Seperti ada Obligasi Ritel Indonesia (ORI), obligasi daerah pun bisa dibuat dalam format serupa,” ujarnya.

Melalui skema itu, masyarakat dinilai dapat berperan langsung dalam pembangunan daerah. “Itu titik tekannya. Masyarakat diajak berpartisipasi membangun daerah,” katanya.

Dalam berbagai pernyataannya, Mekeng juga menegaskan bahwa seluruh daerah memiliki potensi menerbitkan obligasi daerah karena memiliki basis ekonomi dan kekayaan lokal masing-masing. “Daerah ini sebenarnya punya kemampuan. Ada yang punya tambang, emas, pariwisata. Tapi selama ini terlalu mengandalkan pusat,” tuturnya.

Namun ia memberi catatan penting: tata kelola keuangan harus dibenahi sebelum penerbitan obligasi dilakukan, mulai dari perapian pembukuan hingga penempatan aparatur yang benar-benar kompeten.

“Orang-orang yang mengelola keuangan harus betul-betul mengerti. Dengan pengawasan berbagai institusi termasuk OJK, penyimpangan terhadap APBD akan semakin sulit terjadi,” ujarnya.

Karena itu, Mekeng menegaskan bahwa DPR memberi perhatian besar terhadap wacana ini dan membuka peluang untuk membentuk regulasi khusus mengenai obligasi daerah. “Langkah awalnya adalah menyusun naskah akademis. Setelah itu dibawa ke DPR untuk menjadi inisiatif, lalu dibahas bersama pemerintah,” ucapnya.

Sebagai rangkaian, Mekeng memastikan diskusi serupa akan digelar di berbagai daerah sebagai forum aspirasi publik. “Saya berharap gong-nya nanti, naskah akademis bisa kita serahkan pada Maret tahun depan di Jakarta,” kata Mekeng.

Diskusi yang dipandu Direktur Eksekutif Nagara Institute, Akbar Faisal, dan ditayangkan langsung melalui podcast Akbar Faizal Uncensored itu juga menghadirkan berbagai perspektif lain dari regulator maupun akademisi.

Global, Municipal Bond Sudah Sangat Lazim

Deputi Komisioner Pengawas OJK Eddy Manindo Harahap menjelaskan bahwa secara global, instrumen municipal bond telah menjadi praktik umum. Pada 2024, nilai penerbitannya bahkan menyentuh rekor baru sebesar 496 miliar dolar AS, sebagian besar berasal dari Amerika Serikat.

“Tidak hanya negara bagian, bahkan kota-kota kecil di AS bisa menerbitkan obligasi. India pun sudah banyak menerbitkan obligasi daerah melalui pemerintah kota,” ujar Eddy.

Ia memaparkan bahwa regulasi penerbitan obligasi daerah di Indonesia telah tersedia sejak sebelum 2011, meski sempat dinilai terlalu ketat. Kini aturan tersebut telah disesuaikan, termasuk melalui PP Nomor 1 Tahun 2024 serta pembaruan regulasi di Kementerian Keuangan dan OJK.

Menurut Eddy, daerah yang ingin menerbitkan obligasi harus melalui persyaratan berlapis, mulai dari persetujuan DPRD, penilaian Kementerian Keuangan, Kemendagri, hingga Bappenas bila masa obligasi melampaui satu periode pemerintahan.

“OJK kemudian mengeluarkan pernyataan pendaftaran agar obligasi dapat dilisting di bursa dan ditawarkan ke publik. Setelah itu pengawasan dilakukan oleh OJK dan publik melalui kewajiban keterbukaan informasi,” jelasnya.

Sementara itu, Gubernur Sulawesi Utara, Mayjen TNI (Purn.) Yulius Selvanus, menegaskan kesiapan pemerintah provinsi dan DPRD untuk memulai langkah penerbitan obligasi daerah. Namun ia menilai proses perizinan antar-kementerian masih menjadi tantangan yang perlu dibenahi.

“Material dan SDM kami siap. DPRD juga kompak mendukung. Tetapi regulasi dan proses persetujuan di tingkat pusat, Kemendagri, Kemenkeu, OJK masih panjang,” ujar Yulius.

Ia berharap ada percepatan regulasi sehingga daerah dapat segera memulai inovasi pembiayaan. “Kalau seruan ini masif, saya yakin jarak yang panjang ini akan menjadi pendek. Sulawesi Utara ingin memulai dari sini,” tambahnya.

Acara ini turut dihadiri berbagai pemangku kebijakan, termasuk Wakil Gubernur Sulut Victor Mailangkay, Kepala Biro Humas dan Sistem Informasi Setjen MPR RI Anies Mayangsari Muninggar, jajaran Forkopimda Provinsi Sulut, perwakilan ormas, organisasi keagamaan hingga Badan Eksekutif Mahasiswa. Kehadiran lintas sektor ini memperkuat semangat bersama mendorong inovasi pembiayaan publik di tingkat daerah.

Leave a Reply