DPD II  

Memaknai Kehadiran Perempuan di Ruang Politik Legislatif

Berita Golkar – Lembaga politik merupakan sarana untuk memperjuangkan hak-hak rakyat. Lahirnya pandangan yang melihat bahwa keterlibatan aktif perempuan dalam dunia politik menjadi instrumen yang sangat penting untuk membangun dan mempertahankan demokrasi yang kuat dan dinamis.

Oleh karena itu, partisipasi perempuan yang lebih bermakna dan berdampak dalam peran kepemimpinan nasional, lokal, dan masyarakat telah menjadi fokus penting dari kebijakan pembangunan global.

​Banyak orang mungkin bertanya MENGAPA penting untuk perempuan terlibat aktif dalam ranah politik? apakah sebagai pemimpin politik, pembuat kebijakan terpilih, atau aktivis masyarakat sipil. MENGAPA dunia membutuhkan lebih banyak perempuan yang terlibat dalam semua aspek proses politik?

Hal ini tentu saja disebabkan karena partisipasi politik perempuan menghasilkan keuntungan nyata bagi demokrasi, termasuk lebih responsif terhadap kebutuhan warga negara dan mempengaruhi berbagai isu kebijakan yang dipertimbangkan dan jenis solusi yang diusulkan.

Berbagai Penelitian menunjukkan bahwa seorang legislator laki-laki dan perempuan memiliki dampak yang berbeda terhadap prioritas kebijakan mereka, sehingga sangat penting bagi perempuan hadir dalam politik untuk mewakili kepentingan perempuan dan pemilih yang terpinggirkan dan membantu meningkatkan ketanggapan dalam pembuatan kebijakan dan tata kelola pemerintahan.

Terdapat bukti kuat bahwa semakin banyak perempuan yang terpilih menjadi anggota parlemen, semakin banyak pula kebijakan yang dibuat yang menekankan pada kualitas hidup dan mencerminkan prioritas keluarga, perempuan, serta etnis dan ras minoritas.
Di seluruh dunia, politisi perempuan sering dianggap lebih jujur dan lebih responsif dibandingkan dengan politisi laki-laki.

Keterlibatan perempuan dapat mengurangi korupsi di lembaga-lembaga politik, dan mendorong standar hidup yang lebih tinggi – terutama perawatan kesehatan dan pendidikan. Partisipasi Perempuan Mendorong Kepercayaan Warga Negara terhadap Demokrasi.

Perempuan cenderung bekerja dengan cara yang tidak terlalu hirarkis, lebih partisipatif, dan lebih kolaboratif dibandingkan dengan rekan kerja laki-laki. Perempuan juga lebih cenderung bekerja lintas partai, bahkan di lingkungan yang sangat partisan.

Contoh bisa kita ambil dari berbagai negara yang tingkat partisipasi perempuan cukup tinggi seperti di Rwanda, Afrika, sejak menguasai 56 persen kursi di parlemen Rwanda pada tahun 2008, perempuan bertanggung jawab untuk membentuk kaukus lintas partai pertama yang menangani isu-isu kontroversial seperti hak atas tanah dan ketahanan pangan.

Mereka juga telah membentuk satu-satunya kemitraan tripartit antara masyarakat sipil dan badan-badan eksekutif dan legislatif untuk mengkoordinasikan legislasi yang responsif dan memastikan layanan dasar diberikan.

​Di Federasi Rusia, sebuah penelitian tentang peran legislator perempuan di Duma, atau parlemen, menunjukkan bahwa legislator perempuan mampu mengesampingkan perbedaan ideologi dan partai untuk mempromosikan undang-undang yang menguntungkan anak-anak dan keluarga secara multi-partisan.

Mereka mengusulkan langkah-langkah yang meningkatkan tunjangan bagi warga negara yang memiliki anak, memperpanjang tunjangan kehamilan dan cuti orang tua, mengurangi pajak untuk keluarga dengan banyak anak, menciptakan hukuman untuk kekerasan dalam rumah tangga, termasuk isu-isu seperti hukum ketenagakerjaan, kesetaraan upah, dan kekerasan terhadap perempuan.

Para legislator perempuan juga memperkenalkan amandemen undang-undang ketenagakerjaan yang akan memberikan istirahat wajib bagi para ibu bekerja untuk menyusui, dan menyediakan tempat penitipan anak di tempat bagi perusahaan yang memiliki lebih dari 200 karyawan.

Penelitian menunjukkan bahwa anggota parlemen perempuan cenderung melihat masalah “perempuan” secara lebih luas sebagai masalah sosial, mungkin sebagai hasil dari peran yang secara tradisional dimainkan perempuan sebagai ibu dan pengasuh di komunitas mereka, dan bahwa lebih banyak perempuan melihat pemerintah sebagai alat untuk membantu melayani kelompok-kelompok yang kurang terwakili atau minoritas. Oleh karena itu, anggota parlemen perempuan sering dianggap lebih peka terhadap keprihatinan masyarakat dan lebih responsif terhadap kebutuhan konstituen.

Bagaimana dengan parlemen kita? Saat ini parlemen kita masih menghadapi isu terkait rendahnya keterwakailan perempuan di legislatif yang masih di bawah 30%. Rendahnya tingkat keterwakilan perempuan di parlemen ini tentu saja berdampak pada isu kebijakan yang diperjuangkan.

Terutama yang dihadapi oleh perempuan, anak, dan keluarga. Meski penerapan kebijakan afirmatif di Indonesia dinilai cukup efektif untuk mendorong partisipasi politik perempuan. Akan tetapi, tingkat keterpilihan perempuan masih cukup rendah.

Munculnya trend peningkatan kekerabatan (dinasti politik) dalam rekrutmen politik (terutama perempuan) sebagai caleg belakangan ini tentu saja berdampak significan terkait pemilihan isu bagi perempuan. Dari 120 orang anggota legislatif perempuan yang terpilih di pemilu 2019, 44% adalah mereka yang memiliki relasi dengan elit politik, elit partai, pengurus partai, anak ketua umum, atau elit dari pemerintahan. Seperti anak/istri mantan kepala daerah, anak/istri kepala daerah, dsb.

Dampak yang ditimbulkan oleh startegi jalan pintas ini mempersulit penggunaan isu perempuan dalam kampanye, karena isu perempuan bukan isu elektoral yang bisa mempengaruhi dukungan pemilih. Disamping minimnya kesadaran caleg perempuan menggunakan isu perempuan dalam kampanye.

Akhirnya mereka yang terpilih tidak lagi melihat kepentingan perempuan untuk mengangkat isu-isu perempuan, hanya karena dorongan kebijakan afirmasi semata. Ketika perempuan menjadi caleg tapi tidak menguasai isu-isu perempuan, bagaimana mereka bisa memperjuangkan isu-isu perempuan dalam kebijakan, baik undang-undang maupun dalam peraturan daerah ketika dia terpilih menjadi anggota legislative? Disinilah akar problematika perempuan di parlemen kita hari ini.

Sehingga tidak heran Jika ketersambungan antara kualitas legislasi dengan isu yang ada itu tidak ada. Karena perempuan yang ada di parlemen saat ini komposisinya sangat homogen, hanya kalangan oligarki yang punya uang dan kekerabatan dengan elit politik.

Dengan demikian terjadi keterputusan kenaikan kuantitas dengan kebijakan yang dihasilkan. Semakin banyak jumlah perempuan tapi kebijakannya tidak nyambung. Gagal melahirkan undang-undang yang progresif dalam melindungi perempuan. Apa yg didiskusikan di parlemen dengan kondisi real itu tdk nyambung pada akhirnya.

Ini_lah yang saya maksudkan dengan “tidak semua perempuan yang terpilih menjadi anggota parlemen atau badan legislatif lainnya akan menempatkan isu-isu atau hak-hak perempuan sebagai prioritas utama dalam agendanya”. Semoga kaum Perempuan bisa memahami persoalan ini dan mau peduli untuk lebih cerdas memilih, jangan hanya menjadi komoditi politisasi utk pemenangan semata. {sumber}

Oleh: Nurhasni, SS.MA
Anggota Kaukus Perempuan Politik Wilayah Sumbar dan Fungsionaris Partai Golkar Provinsi Sumatera Barat