DPP  

Membaca Arah Mata Angin Demokrasi dan Sistem Politik Indonesia Pasca Penghapusan Presidential Threshold

Berita GolkarPutusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 62/PUU-XXII/2024 telah menjadi sorotan utama dalam diskursus demokrasi Indonesia. Putusan ini menghapuskan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold, sebuah ketentuan yang sebelumnya mensyaratkan partai politik atau gabungan partai politik untuk memperoleh setidaknya 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara nasional dalam pemilu legislatif untuk mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Dalam konteks demokrasi yang terus berkembang, keputusan ini menimbulkan berbagai reaksi, mulai dari antusiasme terhadap pembukaan peluang politik yang lebih luas hingga kekhawatiran atas fragmentasi politik. Artikel ini akan mengupas implikasi putusan tersebut terhadap kuantitas dan kualitas calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Indonesia.

Landasan Yuridis dan Teori Demokrasi

Penghapusan presidential threshold didasarkan pada argumen bahwa ketentuan tersebut melanggar prinsip kesetaraan dan partisipasi politik sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dalam konteks teori demokrasi, aturan ambang batas dianggap membatasi kompetisi politik dan mereduksi pluralitas politik. Sebagaimana ditegaskan oleh Giovanni Sartori dalam teorinya tentang sistem partai, demokrasi yang sehat memerlukan kompetisi yang adil dan keterwakilan yang inklusif.

Putusan MK juga mencerminkan prinsip kedaulatan rakyat yang menjadi esensi dalam sistem demokrasi Pancasila. Dengan menghapus presidential threshold, MK berupaya membuka ruang bagi lebih banyak aktor politik untuk berpartisipasi, sehingga pilihan rakyat tidak lagi dibatasi oleh kepentingan elite partai besar.

Hakim Konstitusi Anwar Usman, meskipun dalam kasus ini menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion), menegaskan bahwa stabilitas pemerintahan tetap menjadi pertimbangan penting yang perlu dikawal dalam pelaksanaan kebijakan ini. Hal ini menunjukkan dilema antara membuka peluang demokrasi dan menjaga kesinambungan sistem politik.

Dampak Terhadap Kuantitas Capres-Cawapres

Penghapusan presidential threshold secara langsung meningkatkan kuantitas pasangan capres-cawapres. Sebelumnya, hanya partai besar atau koalisi besar yang memiliki akses untuk mencalonkan kandidat. Dengan aturan baru, partai-partai kecil dan menengah mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengusung kandidat, bahkan tanpa harus berkoalisi. Konsekuensi dari kebijakan ini adalah kemungkinan bertambahnya jumlah pasangan calon yang akan bertarung dalam kontestasi pemilu.

Namun, bertambahnya jumlah pasangan calon tidak selalu menjadi pertanda positif. Seperti yang dikemukakan oleh Maurice Duverger dalam teorinya tentang sistem pemilu, sistem multipartai yang tidak terkendali dapat menyebabkan fragmentasi politik yang berujung pada ketidakstabilan. Dengan lebih banyak kandidat, potensi polarisasi di masyarakat juga meningkat. Hal ini dapat memperumit proses pengambilan keputusan dan menciptakan tantangan baru dalam menjaga kohesi sosial.

Dalam praktiknya, pengalaman pemilu di beberapa negara menunjukkan bahwa peningkatan jumlah kandidat sering kali diiringi dengan munculnya calon-calon dengan latar belakang politik yang kurang matang atau agenda politik yang sempit. Hal ini berisiko menurunkan kualitas debat politik dan mengalihkan perhatian dari isu-isu substansial.

Dampak terhadap Kualitas Capres-Cawapres

Salah satu argumen utama yang mendukung presidential threshold adalah bahwa mekanisme ini berfungsi sebagai filter untuk memastikan hanya kandidat dengan dukungan politik yang signifikan dapat maju. Dengan dihapuskannya aturan ini, kekhawatiran muncul bahwa kualitas pasangan calon dapat terdegradasi. Calon-calon dengan rekam jejak dan visi yang kurang meyakinkan bisa saja ikut serta hanya karena memiliki dukungan partai kecil atau modal finansial yang kuat.

Namun, di sisi lain, penghapusan threshold juga membuka peluang bagi kandidat-kandidat potensial yang sebelumnya terhalang oleh dominasi partai besar. Dengan kompetisi yang lebih terbuka, masyarakat memiliki lebih banyak pilihan, termasuk kandidat independen atau dari partai kecil yang membawa perspektif baru. Kondisi ini, jika diimbangi dengan literasi politik yang baik di kalangan masyarakat, dapat meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia secara keseluruhan.

Sebagaimana diungkapkan oleh Larry Diamond dalam studinya tentang demokrasi, kualitas pemimpin dalam sebuah demokrasi tidak hanya ditentukan oleh mekanisme pencalonan, tetapi juga oleh sistem seleksi alami melalui proses kampanye dan debat publik. Dalam konteks ini, tugas utama masyarakat adalah menguji kelayakan kandidat berdasarkan kapasitas, integritas, dan visi mereka.

Tantangan dan Peluang di Masa Depan

Keputusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024 merupakan langkah besar dalam reformasi politik Indonesia, tetapi implementasinya tidak tanpa tantangan. Salah satu isu utama adalah potensi meningkatnya fragmentasi politik di parlemen.

Dengan lebih banyak kandidat yang maju, kemungkinan besar tidak ada kandidat yang memperoleh mayoritas mutlak dalam satu putaran pemilu. Hal ini dapat memaksa pemilu berjalan dalam dua putaran, yang berarti biaya politik akan meningkat.

Selain itu, sistem politik Indonesia perlu memperkuat mekanisme pendidikan politik untuk memastikan bahwa masyarakat mampu memilih berdasarkan pertimbangan yang rasional. Penghapusan presidential threshold harus diiringi dengan upaya meningkatkan literasi politik agar masyarakat dapat menilai kualitas kandidat secara objektif.

Di sisi lain, kebijakan ini juga membuka peluang untuk meremajakan politik Indonesia. Generasi muda dan tokoh-tokoh dari kalangan non-elite memiliki kesempatan yang lebih besar untuk berpartisipasi. Dengan demikian, putusan ini dapat menjadi katalisator bagi lahirnya pemimpin-pemimpin baru yang lebih progresif dan visioner.

Kesimpulan

Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024 menandai era baru dalam demokrasi Indonesia. Dengan dihapuskannya presidential threshold, kompetisi politik menjadi lebih inklusif, tetapi sekaligus menghadirkan tantangan baru dalam menjaga kualitas dan stabilitas politik.

Untuk memastikan bahwa dampak positif dari kebijakan ini dapat terwujud, diperlukan penguatan sistem politik, pendidikan politik yang lebih baik, dan komitmen dari seluruh elemen masyarakat untuk menjalankan demokrasi secara bertanggung jawab.

Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi prinsip kedaulatan rakyat, Indonesia memiliki peluang besar untuk menunjukkan kepada dunia bahwa reformasi politik dapat dilakukan tanpa mengorbankan stabilitas. Putusan ini adalah ujian bagi kematangan demokrasi kita, sekaligus peluang untuk memperkuat fondasi demokrasi di masa depan.

Oleh Muyassar Nugroho, S.H., M.H., CMLC.
Politisi Muda Partai Golkar