Berita Golkar – Dalam Pertemuan Tingkat Menteri Asia-Pacific Telecommunity (APT) 2025 di Tokyo, Indonesia menegaskan bahwa transformasi digital tidak boleh hanya berfokus pada kecepatan dan jangkauan, tetapi juga harus memprioritaskan perlindungan bagi generasi masa depan, khususnya anak-anak.
Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menyampaikan pendekatan Indonesia yang menggabungkan pembangunan infrastruktur digital inklusif dengan regulasi ketat untuk melindungi anak di ruang digital.
“Dengan visi Indonesia Digital 2045 dan regulasi terobosan untuk melindungi anak dari risiko digital, Indonesia mengajak seluruh negara di kawasan untuk bergandengan tangan membangun ekosistem digital Asia-Pasifik yang berkeadilan dan berkelanjutan,” ujar Meutya dalam sesi panel APT Ministerial Meeting Panel A – Sustainable Digital Infrastructure and Accessibility, dikutip dari WartaEkonomi.
Meutya memaparkan sejumlah capaian Indonesia di sektor digital sepanjang 2024, antara lain peningkatan penetrasi internet nasional mencapai 79,5%, didukung oleh proyek strategis seperti:
- Jaringan Palapa Ring yang kini mencakup lebih dari 500 kabupaten/kota.
- Peluncuran satelit SATRIA-1 untuk memperkuat konektivitas di daerah terpencil.
- Program BTS 4G nasional yang menyasar wilayah terluar, tertinggal, dan perbatasan.
Namun, Meutya menekankan bahwa infrastruktur hanyalah langkah awal. “Konektivitas saja tidak cukup. Kita perlu memastikan dunia digital yang kita bangun aman dan ramah bagi semua, terutama anak-anak sebagai kelompok paling rentan,” tegasnya.
Sebagai langkah konkret, Pemerintah Indonesia memperkenalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 atau PP TUNAS, regulasi komprehensif pertama yang secara khusus melindungi anak di dunia digital. Regulasi ini mengedepankan prinsip child-first melalui kebijakan progresif seperti:
- Pembatasan akses platform digital berbasis usia dan risiko.
- Pelarangan profil data anak untuk tujuan komersial.
- Kewajiban literasi digital bagi penyedia platform digital (PSE).
- Sanksi tegas bagi pelanggar regulasi.
Meutya menjelaskan, “Anak di bawah 13 tahun hanya boleh mengakses platform digital ramah anak dengan risiko rendah, dan harus dengan persetujuan orang tua. Sementara platform dengan interaksi terbuka atau monetisasi agresif hanya boleh diakses mulai usia 16 tahun, juga dengan persetujuan aktif orang tua.”
Selain PP TUNAS, pemerintah juga memperkuat kolaborasi dengan berbagai kementerian, termasuk:
- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
- Kementerian Pendidikan
- Kementerian Dalam Negeri
- BKKBN
- Kementerian Agama
Tujuannya adalah memperluas gerakan literasi digital nasional guna meningkatkan kesadaran masyarakat tentang keamanan berinternet.
Selain itu, Indonesia telah mengesahkan dua instrumen hukum penting lainnya:
- UU Perlindungan Data Pribadi (UU No. 27/2022)
- Pembaruan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE No. 11/2008 jo. UU No. 1/2024)
Meutya menutup pidatonya dengan ajakan bagi negara-negara Asia-Pasifik untuk bersama-sama membangun ekosistem digital yang inklusif dan berkelanjutan.
“Mari kita melangkah bersama menuju masa depan digital Asia-Pasifik yang aman, adil, dan memberdayakan—terutama bagi generasi penerus yang akan mewarisi ruang digital ini,” pungkasnya. {}