Berita Golkar – Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid menilai, Kompas.com adalah salah satu media massa yang mampu membaca tantangan di masa depan di era disrupsi digital saat ini.
Hal ini disampaikan oleh Meutya dalam sambutannya di acara Ulang Tahun Kompas.com yang diselenggarakan di Menara Kompas, pada Senin (15/9/2025).
“Media massa tidak hanya membaca apa yang ada saat ini, tetapi juga masa depan. Karena kewenangan luar biasa, begitu banyak masyarakat yang bergantung pada media massa,” kata Meutya, dikutip dari Kompas.
Dia mengatakan, sejak tahun 1995, Kompas.com awalnya adalah Kompas Digital dan kala itu belum terlalu banyak media yang memasuki dunia digital, utamanya media yang berakar dari media konvensional.
“Kemudian diberikan hidayah dan berkah untuk membaca zaman, dibanding yang lainnya, dan diberi kemampuan adaptasi, di mana media ini diberikan dari kerendahan hati untuk beradaptasi,” kata dia.
Ia mengatakan, adaptasi yang dilakukan adalah bentuk kerendahan hati dalam mencerna tuntutan publik. Menurut dia, hal itu adalah karakter penting yang perlu dimiliki oleh media. “Sehingga (media memiliki) kewajiban untuk mampu membaca tanda-tanda zaman,” lanjut dia.
“Kompas Digital (awalnya) bisa beradaptasi itu pasti karena ada kerendahan hati sehingga mampu mendengar tuntutan publik dan apa pesan yang disampaikan oleh zaman berikutnya. Menurut saya itu adalah karakter yang harus dimiliki media massa,” ujar dia.
Di sisi lain, Meutya menegaskan bahwa Kemkomdigi melakukan pantauan terkait dengan berita-berita yang beredar di media online. Kompas.com dinilai merupakan media yang memberikan informasi akurat dan tepat serta mampu menenangkan pemerintah.
“Kami di Kemkomdigi kan memantau, yang muncul di board kami memang ada banyak yang muncul Kompas.com sebagai rujukan. Ini rahasia-rahasia, tapi toh banyak mengamati itu dan menyadari,” ujar dia.
“Kami berterima kasih sekali karena rujukan masyarakat ke media yang kredibel, yang menjaga kode etik dengan sepenuh daya justru menenangkan kami di pemerintah,” sambung dia.
Dia memaparkan, saat ini kurang lebih 226 juta masyarakat pengguna internet aktif di tanah air, setara dengan 80,6 persen populasi. Di sisi lain, ada 50 juta warga yang sama sekali belum tersentuh oleh internet, tentunya bagian tersebut tidak boleh dilupakan.
Berbicara rentang usia, kelompok 20-29 tahun mendominasi dengan 33 persen responden, sementara kelompok usia lanjut masih jauh lebih sedikit. Gen Z mencatat penetrasi internet tertinggi hampir 90 persen.
Adapun untuk anak usia 0-14 tahun atau seperempat dari populasi, 70 persen aktif berinternet, namun 80 persen orangtua tidak tahu aktivitas digital anak-anak mereka.
“Ini menjadi tantangan, karena ketika dunia mengarah pada literasi yang baik, yang artinya anak di bawah usia tertentu harus didampingi, maka angka 80 persen orangtua yang tidak mengetahui itu menjadi PR kita bersama yang harus dijawab. Jawabannya adalah dari giat literasi yang masif,” ujar dia.
Namun demikian, Meutya yakin pemerintah mana pun tidak akan mampu melakukannya sendiri. Dia menyebut, Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah pengguna internet tidak hanya terbesar di dunia tetapi juga paling aktif di dunia, ditandai dengan rata-rata pengguna internet 8 jam 40 menit per hari menurut survei.
“Artinya kita perlu literasi yang masif dan cepat. Karena teknologi tidak menunggu waktu,” ujar dia.
Sembari pemerintah mempersiapkan literasi, tantangan berikutnya datang dari artificial intelligence atau AI yang lebih jauh dalam kecepatannya. “Saya pernah menggunakan pager, di mana dalam memberikan pesan kita harus bicara ke orang ketiga, dan tidak boleh panjang. Sekarang, kita bisa melakukan Zoom live (setelah) 15 tahun sejak itu (pager),” kata dia.
“Saya menduga (perubahan teknologi) akan jauh lebih cepat daripada yang tadi. Terkesan menakutkan mungkin, (tapi) kita harus (mampu) membaca tanda-tanda zaman, melihat apa yang bisa kita lakukan dan mengambil yang lebih baik,” ungkapnya.
Meutya mencontohkan bahwa di Albania, ada menteri kecerdasan AI yang ditugaskan secara strategis untuk menyisir dan melakukan program serta lelang besar di pemerintahan. Dia bilang, AI sudah di depan mata dan sudah terjadi meski dari etika dan hukum masih menjadi perdebatan.
“Jadi, teknologi ini tidak menunggu, dan kecepatan akan sangat tergantung pada negara. Tidak ada pemerintah yang bisa melakukan kecepatannya sendiri, saya duga mungkin tidak bisa,” ujar dia.
“Dengan kecepatan ini, kita berharap Kompas.com bisa membaca hal ini, kadang teman media lebih cepat membacanya. Sehingga, kita perlu kolaborasi,” ujar dia.
Di usia ke-30 tahun Kompas.com, Meutya berharap kolaborasi dengan pemerintah akan lebih masif lagi untuk mendukung literasi.
“Kolaborasi erat dengan pemerintah untuk membangun literasi kepada masyarakat. Karena kalau media lebih didengar daripada pemerintah. Tantangan tidak mudah, tapi kita yakin tantangan hadir dengan kemudahan yang ditawarkan oleh kemajuan zaman,” tegas dia. {}