Berita Golkar – Kementerian ESDM menyatakan bakal mengakhiri ketergantung impor bahan bakar minyak (BBM) dari Singapura, dan mengalihkan pengadaan ke negara-negara produsen migas.
Selama puluhan tahun, negeri mungil ini yang nyaris tanpa sumber daya alam ini memasok hampir 60 persen kebutuhan minyak di Indonesia. Hal ini terjadi karena Singapura punya beberapa kilang minyak raksasa.
Melansir pemberitaan Kontan, Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, membeberkan ada yang tidak masuk akal dengan harga impor BBM Singapura. Di mana harga dari trader di Singapura lebih mahal daripada bila Pertamina membeli dari negara Timur Tengah.
Ia berpikir, kenapa tidak dari dulu Pertamina membeli lebih banyak minyak dari negara-negara Teluk, sehingga pemerintah bisa menghemat devisa serta menekan beban subsidi BBM.
“Setelah saya cek, kok harganya sama dibandingkan dengan dari negara Middle East. Ya, kalau begitu kita mulai berpikir, kita akan mengambil minyak dari negara lain yang bukan dari negara itu (impor BBM Singapura),” ujar Bahlil di Kantor Kementerian ESDM, Senin (12/5/2025).
Meskipun Singapura bukan negara penghasil minyak mentah, namun kilang-kilang di sana dimiliki perusahaan-perusahaan minyak multinasional. Sehingga menurut logika Bahlil, harga minyak dari kilang-kilang di Singapura seharusnya bisa lebih murah karena kedekatan geografis dengan Indonesia.
Bahlil bilang, pemerintah Indonesia juga punya pertimbangan lain untuk mengimpor lebih banyak BBM dari Timur Tengah, yakni terkait persoalan geopolitik.
“Justru harusnya lebih murah dong. Masa barang dekat dia bikin lebih mahal. Tidak hanya itu, ini ada persoalan geopolitik, geoekonomi. Kita kan harus juga membuat keseimbangan bagi yang lain,” ucap Bahlil.
Rencana pengalihan impor BBM Indonesia ini akan dilakukan bertahap mulai November 2025, dimulai dari 50–60 persen hingga berhenti total. Untuk mendukung langkah ini, Pertamina tengah membangun dermaga baru agar kapal berkapasitas besar dapat digunakan dalam pengiriman BBM.
“Jadi kita membangun yang besar, supaya satu kali angkut, enggak ada masalah. Maka, pelabuhannya yang diperbesar, dan kedalamannya harus dijaga,” jelas Bahlil.
Selain dari Timur Tengah, Amerika Serikat juga akan menjadi mitra penyedia impor BBM Indonesia. Hal ini juga jadi upaya pemerintah Indonesia untuk mencairkan hubungan dagang dengan Negeri Paman Sam.
“Kan kita sudah mempunyai perjanjian dengan Amerika. Salah satu di antara yang kita tawarkan itu adalah, kita harus membeli beberapa produk dari mereka. Di antaranya adalah BBM, crude, dan LPG,” katanya.
Tanggapan Pertamina
Sementara itu Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Fadjar Djoko Santoso mengatakan, sebagai pelaksana penugasan, Pertamina siap mengikuti arahan pemerintah. “Prinsipnya kita akan mengikuti arahan pemerintah (kebijakan impor BBM Pertamina),” ujarnya kepada Kompas.com.
Meski begitu, Pertamina masih menunggu arahan resmi dari pemerintah terkait kebijakan impor BBM tersebut. Paralel, Pertamina juga akan melakukan kajian terkait aspek-aspek yang akan mempengaruhi peralihan impor dari Singapura ke negara lain.
“Sambil menunggu arahan resmi, kami juga akan mengkaji dan mensimulasikan seluruh aspek secara komprehensif, termasuk logistic cost-nya (impor BBM Pertamina dari Timur Tengah dan AS),” kata Fadjar.
Risiko pengalihan impor BBM Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menyoroti faktor jarak sebagai pertimbangan utama dalam kebijakan impor BBM Indonesia. Semakin jauh jarak, semakin besar ongkos logistiknya.
“Dari segi jarak itu akan mempengaruhi biaya pengiriman, biaya transportasi. Saya kira kalau misalnya impornya itu semua dialihkan ke Amerika, barangkali akan lebih mahal dibanding kalau impor dari Singapura yang jaraknya lebih dekat,” kata Fahmy kepada Kompas.com.
Ia juga menekankan pentingnya mencocokkan spesifikasi BBM dengan kemampuan pemasok. Sebagian jenis BBM, seperti Pertalite, perlu pencampuran bahan sebelum bisa digunakan. Itu juga jadi alasan Indonesia bergantung dari impor BBM Singapura.
“Karena selama ini kan impornya itu dari Singapura dalam waktu yang cukup lama, itu kan berarti sudah tahu spesifikasi yang memang dibutuhkan oleh Indonesia,” ujarnya.
“Misalnya Pertalite, itu kan harus di blending, apakah itu bisa di-blending di Amerika? Selama ini kan kita butuh Pertalite, nah itu enggak dijual di pasar internasional. Saya enggak yakin Amerika bisa menyediakan Pertalite karena itu kan harus di-blending. Nah selama ini Singapura sudah punya pengalaman,” lanjut Fahmy.
Praktisi minyak dan gas bumi (migas) Hadi Ismoyo menambahkan, volume, harga, ongkos kirim, dan ketersediaan pasokan juga harus dihitung secara rinci. “Hal yg perlu diperhatikan dalam kontrak import BBM adalah spek, volume, harga, shipping cost dan kesinambungan supply,” kata Hadi.
“Apakah semua parameter tersebut sudah masuk dalam kreteria term and condition import dari Amerika,” tambahnya.
Jarak jauh seperti AS bisa menyebabkan ongkos logistik lebih tinggi. Biaya pengiriman itu bisa memengaruhi harga jual di tingkat konsumen.
“Jika ternyata harga sampai di end buyer Jakarta sama atau lebih kompetitif yang ada sampai saat ini, seharusnya kebijakan tersebut bisa dianggap tepat. Jika malah lebih mahal, justru semakin membebani keuangan negara,” ucap Hadi.
Ia juga menekankan pentingnya proses tender yang terbuka dan transparan dalam kebijakan impor BBM Indonesia. Pemerintah perlu memastikan harga yang didapat memang paling efisien.
“Pastikan kalau bisa deal dengan source supplier yang mempunyai refinary (kilang). Hindari penumpang gelap middle man yamg justru akan bikin kisruh suasana. Pastikan spek, volume, harga, shipping cost dan kesinambungan supply menjadi kreteria utama pemilihan partner import dari USA,” tutup Hadi. {}