Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia Terkejut RI Masih Impor LPG: Kenapa Negara Ini Gini Terus?

Berita Golkar – Impor Liquiefied Petroleum Gas (LPG/elpiji) terus mengalami kenaikan yang berujung pada subsidi yang membengkak. Jika kondisi ini dibiarkan maka beban subsidi akan meledak menjadi persoalan besar bagi pemerintahan baru Prabowo Subianto.

Besarnya impor LPG disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia.

Bahlil memerinci kebutuhan LPG nasional saat ini mencapai 7 juta ton per tahun. Namun dari kebutuhan tersebut, produksi dalam negeri hanya mampu di level 1,8 juta ton per tahun.

“Gas kita LPG konsumsi 7 juta, dalam negeri hanya 1,8 juta produksi kita. Sisanya kita impor, kenapa negara ini gini terus? Apa gak bisa kita bangun industri itu, atau sengaja dibiarkan untuk importir main terus,” ungkap Bahlil dalam Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR RI, dikutip Selasa (27/8/2024).

Berdasarkan Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2023, konsumsi LPG pada 2023 menembus 8,7 juta ton dari 2013 yang hanya mencapai 5,6 juta ton atau naik 55,35% dalam satu dekade terakhir.

Sayangnya, peningkatan konsumsi tak diimbangi dengan naiknya produksi di dalam negeri. Justru, produksi LPG di dalam negeri mengalami penurunan yakni dari 2,01 juta ton pada 2013 menjadi 1,97 juta ton pada 2023 atau turun 2% dalam satu dekade terakhir.

Maka dari itu, Indonesia cenderung melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi LPG yang melesat 111% dari 3,3 juta ton pada 2013 menjadi 6,95 juta ton pada 2023.

Lebih lanjut, dominasi impor LPG pun terus merangkak naik setiap tahunnya dari yang sebelumnya 58,82% pada 2013 menjadi 79,8% pada 2023. Hal ini semakin menegaskan bahwa Indonesia sangat bergantung dengan impor untuk memenuhi kebutuhan LPG.

Tingginya kebutuhan impor LPG ini berdampak terhadap subsidi yang dilakukan pemerintah. Tercatat, realisasi belanja subsidi LPG cenderung terus mengalami kenaikan.

Data dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan bahwa subsidi LPG sempat berada di level yang sangat tinggi yakni sebesar Rp100,4 triliun pada 2022 dan Rp74,3 triliun pada 2023.

Sementara pada outlook 2024 yang ditulis dalam Nota Keuangan, belanja subsidi LPG tabung 3 kg sebesar Rp85,6 triliun dan bertambah menjadi Rp87,6 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025.

Melejitnya subsidi oleh pemerintah tak lepas dari stagnannya harga LPG 3 kg. Sejak 2007, atau 17 tahun harga LPG 3 Kg sebesar Rp 4.250/Kg belum pernah dinaikkan atau disesuaikan padahal harga gas terus membengkak.

Persoalan menjadi rumit karena konsumsi LPG Gas Melon terus membengkak sementara produksi dalam negeri sangat terbatas. Akibatnya impor terus membengkak dan membebani anggaran. Oleh karena itu, Bahlil mendorong pengembangan hilirisasi LPG di dalam negeri.

Pihaknya telah mengidentifikasi lapangan-lapangan migas dalam negeri yang masih mempunyai sumber gas dengan kandungan campuran Propane (C3) dan Butane (C4). Khususnya yang dapat dijadikan sebagai produk LPG.

“Ke depan, gas gas yang muncul di tahun 2025-2026 yang c3-c4 kita akan bangun industri hilirisasi untuk membuat ketahanan energi kita. Agar LPG kita bisa kita bangun dalam negeri,” ujar Bahlil.

Menanggapi hal ini, Wakil Direktur Utama Pertamina Wiko Migantoro mengungkapkan pihaknya saat ini tengah melakukan upaya-upaya peningkatan produksi gas nasional. Baik itu pemanfaatan gas alam cair atau LNG dan juga peningkatan produksi LPG.

Wiko membeberkan setidaknya terdapat beberapa bahan baku yang dapat dijadikan sebagai produk LPG. Misalnya sumber gas yang mempunyai kandungan campuran Propane (C3) dan Butane (C4).

Namun demikian, Wiko mengakui bahwa keberadaan sumber gas yang mempunyai kandungan C3 dan C4 di lapangan migas yang dioperasikan perusahaan cukup terbatas. Kemudian sumber bahan baku yang lainnya yakni sebagai bagian dari salah satu produk kilang Pertamina.

“Sebetulnya ada dua source ya, yang pertama dari sumber gas alam langsung dari natural gas yang mengandung propane butane C3 C4 itu. Ada beberapa yang memang masih bisa kita maksimalkan untuk dijadikan produksi LPG. Selain itu juga dari kilang sebagai bagian dari produk Kilang juga bisa menghasilkan LPG juga,” kata Wiko di Jakarta, dikutip Selasa (20/8/2024).

Selain itu, Bahlil juga menegaskan perihal pengembangan jaringan gas bumi untuk rumah tangga (jargas) juga menjadi opsi strategis. “Memang selain LPG bersubsidi kita juga lagi berpikir untuk bagaimana bikin jaringan gas (jargas) dan membangun industri LPG di Indonesia,” ujarnya.

Sebagai informasi, jargas merupakan program inisiatif dari pemerintah untuk menyediakan akses gas bumi langsung ke rumah-rumah melalui jaringan pipa. Program ini sebagai alternatif dari penggunaan LPG. Berbeda dengan LPG yang dikemas di dalam sebuah tabung, gas dalam jargas langsung tersedia dan lebih praktis karena tidak memerlukan penggantian tabung. {sumber}