Berita Golkar – Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan bakal menambah kuota impor minyak mentah (crude) dan Liquefied Petroleum Gas (LPG) dari Amerika Serikat. Rencana ini merupakan respons atas langkah Presiden AS Donald Trump yang menerapkan peningkatan tarif resiprokal sebesar 32 persen ke Indonesia.
Menurut Bahlil, Presiden AS Donald Trump memasukkan Indonesia dalam pengenaan tarif karena perdagangan mereka ke dalam negeri defisit. Sehingga, pemerintah berupaya untuk menyeimbangkan perdagangan dengan AS.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca dagang per Februari 2025 mencatat perdagangan Indonesia dengan Amerika surplus hingga US$3,13 miliar. Sedangkan, sepanjang 2024 tercatat perdagangan RI ke AS surplus US$16,84 miliar.
Oleh sebab itu, sesuai dengan arahan Presiden Prabowo Subianto, maka dari sektor energi pihaknya mengusulkan tambahan impor crude dan LPG. Saat ini, porsi impor LPG dari AS sebesar 54 persen dan ke depannya akan bertambah. “Nah, khususnya di sektor ESDM, memang 54 persen impor kita LPG itu dari Amerika,” ujar Bahlil, dikutip dari CNNIndonesia.
Dengan rencana ini, maka pemerintah akan mengurangi volume impor minyak dan LPG dari negara lain, tapi bukan dihentikan karena harus ada negara cadangan saat terjadi hal tak diinginkan dari AS. “Tidak di-stop juga (impornya). Volumenya yang mungkin dikurangi,” imbuhnya.
Untuk minyak mentah, beberapa negara yang menjadi importir utama Indonesia adalah Singapura, Timur Tengah, Afrika, hingga Amerika Latin. Sedangkan, dari AS sendiri porsinya masih kecil sekitar 4 persen.
Kendati, ia memastikan peralihan asal impor minyak mentah tidak akan membebani keuangan, terutama dari sisi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Sebab, pemerintah mempertimbangkan nilai keekonomian saat melakukan impor.
“Contoh, LPG belinya dari Amerika. Logikanya kan harusnya lebih mahal karena transportasinya, kan. Tapi buktinya harga LPG dari Amerika sama dengan dari Middle East. Jadi saya pikir semua ada cara untuk kita begitu,” jelasnya.
Di samping itu, Bahlil meminta agar perang tarif yang tengah berlangsung tidak terlalu dibesar-besarkan karena hal tersebut dinilai biasa dalam perekonomian dunia. Menurutnya, kondisi ini bisa dijadikan momentum bagi Indonesia untuk berbenah.
“Jadi betul bahwa ada terjadi perang dagang, tapi ini jangan juga dianggap sesuatu seolah-olah wah banget, biasa aja dinamika. Kalau dalam sisi bisnis, ada dinamika atau kekurangan, disitu pasti ada peluang. Ini semakin memperkuat kita di internal negara kita bahwa ada introspeksi dan segera melakukan langkah-langkah komprehensif untuk segera menciptakan nilai tambah lewat hilirisasi industrialisasi,” pungkasnya. {}