Berita Golkar – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan aktivitas tambang PT GAG Nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, tidak berada di kawasan konservasi. Ia mengatakan lokas tambang berada di Pulau Gag, yang berjarak sekitar 30 hingga 40 kilometer dari Pulau Piaynemo yang merupakan ikon wisata Raja Ampat.
“Banyak yang bilang tambang ada di Piaynemo, itu keliru. Tambangnya di Pulau Gag, cukup jauh dari sana. Saya tahu karena saya sering ke Raja Ampat,” kata Bahlil dalam keterangan tertulis, Jumat (6/6/2025), dikutip dari Tempo.
Bahlil juga menegaskan bahwa izin tambang tersebut bukan dikeluarkan saat dirinya menjabat sebagai menteri. Izin itu, kata dia, terbit pada 2017 dan tambang mulai beroperasi setahun berikutnya saat ia masih menjadi Ketua Umum HIPMI. PT GAG Nikel sendiri merupakan anak usaha BUMN PT Aneka Tambang (ANTAM), yang sudah memegang Kontrak Karya sejak 1998.
Bahlil menyebut pemerintah tetap berkomitmen menjaga keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya alam dan perlindungan lingkungan. Pengawasan terhadap tambang akan dilakukan secara ketat dan sesuai prinsip good mining practice. “Kami tak bisa hanya percaya pada pemberitaan. Harus dicek langsung agar objektif,” katanya.
Meski demikian, keberadaan tambang nikel di Raja Ampat terus menuai kritik. Greenpeace Indonesia memperingatkan bahwa ekspansi tambang nikel bisa merusak ekosistem laut dan darat Raja Ampat.
Kepala Kampanye Hutan GreenpeacenKiki Taufik menyebut dampak industri nikel yang merusak sudah terlihat di wilayah lain seperti Halmahera dan Kabaena, dan kini mulai menyebar ke Raja Ampat.
Kiki menyebut ada lima pulau kecil yang mulai ditambang, yaitu Pulau Gag, Kawe, Manuran, Batang Pele, dan Manyaifun. Padahal pulau-pulau kecil seharusnya dilindungi dari aktivitas tambang, sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Penelusuran Greenpeace menunjukkan tambang di tiga pulau pertama telah merusak lebih dari 500 hektare hutan. Selain itu, mereka menemukan limpasan tanah dari tambang mengalir ke laut dan mengancam terumbu karang serta kehidupan bawah laut.
Penolakan juga datang dari Aliansi Jaga Alam Raja Ampat. Mereka menolak ekspansi tambang di Pulau Batang Pele dan Manyaifun karena letaknya dekat kawasan konservasi. Koordinator aliansi, Yoppy L. Mambrasar, mengatakan wajah pariwisata Raja Ampat kini mulai “bertubuh tambang” karena pemerintah gagal melindungi pulau-pulau kecil dari industri ekstraktif.
Yoppy menekankan bahwa tambang di pulau kecil melanggar berbagai regulasi lingkungan, termasuk Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-XXI/2023. Ia menyatakan bahwa jika tambang terus dibiarkan, kerusakan lingkungan akan semakin parah dan merugikan generasi mendatang.
“Kami tidak menolak pembangunan, tapi kami ingin pembangunan yang adil dan berpihak pada rakyat serta lingkungan,” ujar Yoppy. {}