Menteri P2MI Mukhtarudin Soroti ‘Strawberry Generation’: Pendidikan Harus Bangun Mental Tangguh

Berita Golkar – Fenomena “strawberry generation” kerap disematkan pada anak muda, yakni generasi yang dinilai memiliki kemampuan akademik dan keterampilan memadai namun mudah rapuh saat menghadapi tekanan, mendapat sorotan dari Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia atau Menteri P2MI Mukhtarudin.

Mukhtarudin menilai, perbedaan pola asuh dan proses pendidikan antara generasi terdahulu dan sekarang menjadi salah satu faktor, memengaruhi ketangguhan mental anak-anak muda.

“Kita ini sebenarnya sudah terbiasa hidup dalam zona yang serba susah. Anak-anak sekarang, sebagian besar tumbuh di zona yang nyaman, dan zona nyaman itu membuat mental mereka menjadi lebih lemah,” ujarnya, Jumat (28/11/2025), dikutip dari TribunKalting.

Ia menuturkan, model pendidikan masa lalu cenderung keras dan disiplin ketat.

“Dulu saya sering sekali dipukul guru, ditendang, dijemur, dipukul ujung tangan kalau kuku panjang, rambut gondrong dipotong langsung. Tapi kita tidak viral, tidak protes, tidak melaporkan guru. Sekarang, guru marah sedikit saja, sudah dilaporkan ke polisi,” katanya.

Mukhtarudin menyebut praktik pendidikan zaman dulu, meski ekstrem bagi konteks saat ini, telah membentuk karakter dan daya tahan mental.

“Kalau tidak bisa mengerjakan PR, dijemur di halaman atau di tiang bendera, berdiri di depan kelas dengan satu kaki diangkat. Mungkin sekarang tidak mungkin lagi seperti itu,” jelasnya.

Menurutnya, peningkatan kualitas pendidikan tidak bisa hanya berfokus pada akademik.

Ia menegaskan, ada tiga aspek pendidikan yang harus berjalan seimbang, yakni aspek kognitif (pengetahuan), aspek psikomotorik (skill atau hard skill), serta aspek mental dan karakter yang menurutnya menjadi titik terlemah pada generasi saat ini.

“Yang kita butuhkan adalah menjembatani knowledge, skills, dan mental dalam proses belajar mengajar sejak pendidikan dasar,” tutur Mukhtarudin.

Ia menyinggung perubahan perilaku dalam lingkungan keluarga.

“Dulu kalau kita tidak mau sekolah, orang tua langsung mengantar balik, bahkan menendang kita supaya kembali sekolah. Sekarang berbeda, anak-anak kadang kabur ketika disuruh sekolah. Ini yang harus kita perbaiki,” katanya.

Mukhtarudin mengaku, sering menjumpai anak muda yang mudah menyerah ketika menghadapi persoalan kecil, bahkan sampai mengambil langkah ekstrem.

“Sedikit saja ada masalah langsung menyerah. Bahkan ada yang sampai mengakhiri hidup karena dibully. Mentalnya langsung jatuh,” ucapnya.

Karena itu, ia menegaskan bahwa proses pembelajaran harus ikut membentuk daya juang. “Pendidikan tidak hanya mengurus ilmu atau keterampilan, tetapi juga membangun daya juang dan menjadikan mereka seorang fighter,” tegasnya.

Mukhtarudin menilai pembentukan karakter membutuhkan lingkungan yang tepat. Ia mencontohkan sekolah-sekolah berdisiplin tinggi seperti institusi Taruna. “Mereka sangat disiplin, sedikit salah ada hukuman, tetapi lulusannya banyak yang sukses dan punya mental kuat,” ujarnya.

Ia mendorong pemerintah daerah dan perguruan tinggi untuk memperluas pendekatan pendidikan yang tidak semata-mata menilai siswa lewat seleksi akademik. “Pendidikan tidak boleh hanya fokus pada aspek akademik, tetapi juga harus memperhatikan mental dan karakter,” pungkasnya. {}