Merajut Diplomasi Parlemen Untuk Kemerdekaan Palestina

Berita Golkar – Kekerasan kembali terjadi di Jalur Gaza pasca berakhirnya empat hari gencatan senjata. Tentara Zionis Israel secara membabi buta menyerang secara acak warga sipil yang tak berdosa. Bahkan saking “gila”-nya kelakuan tentara Israel Defense Force (IDF), pelapor khusus PBB mendesak keras ke Tel Aviv agar pembantaian warga sipil segera dihentikan. Hal ini karena sejumlah RS di Gaza kelimpungan mengatasi lonjakan pasien.

Amerika Serikat (AS) pun dilaporkan tengah menyiapkan sanksi untuk Israel, meskipun untuk hal ini kita tidak banyak berharap. Mengingat, sebagaimana yang lalu, Washington kerap membela Israel tanpa alasan yang cukup.

Sejak berkobarnya perang, 7 Oktober, korban tewas di Gaza mencapai 16 ribu jiwa. Sebagian besar di antaranya anak-anak, perempuan dan warga sipil. Lebih detail, merujuk laporan Kementerian Kesehatan Palestina dan Perhimpunan Bulan Sabit Merah Palestina (PRCS), setidaknya ada 16.248 korban tewas, dengan 7,112 anak-anak dan 4,885 wanita. Tak hanya warga sipil, 63 jurnalis juga meninggal dalam tugas—merujuk data Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) dan Federasi Jurnalis Internasional (IFJ). Atas situasi ini, satu kata yang tepat untuk menggambarkan kebrutalan Israel: biadab!

Apakah yang harus kita lakukan? Puluhan demonstrasi di berbagai kota di Indonesia tak pernah henti mengecam kekerasan yang dilakukan Israel. Memang hanya itu yang bisa dilakukan masyarakat, selain berdoa. Namun pemerintah dan DPR memiliki ruang lebih besar untuk menaikkan level tekanan.

Hanya saja, di saat yang sama sebagian besar masyarakat Indonesia tengah menyiapkan pesta demokrasi, Pemilu 2024. Saya sebagai kader Partai Golkar, anggota parlemen, dan juga Caleg DPR RI—bersama dengan teman-teman politisi lainnya—kini berada di dapil masing-masing untuk menyapa masyarakat dalam rangka memenangkan pemilihan.

Tidak ada yang salah dengan hal itu. Namun sebagai sesama umat manusia, hati nurani kita terluka ketika membaca dan melihat, saudara-saudara kita berada dalam gempuran yang tidak adil. Mereka tidak lagi berpikir pemilu, sekolah—bahkan untuk bertahan hidup esok hari pun, merupakan sesuatu yang mewah.

Peran Presiden Jokowi

Oleh karenanya, selaku anggota DPR, saya mendesak agar bangsa Indonesia melakukan langkah lebih dari yang sekarang sudah dilakukan. Presiden Jokowi Widodo telah secara tegas menggunakan segala upaya untuk menekan AS dan Israel. Dalam Rapat Darurat Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Riyadh, Arab Saudi, pertengahan November lalu, Presiden memberikan 4 tuntutan terkait agresi militer yang dilancarkan Israel di Jalur Gaza Palestina.

Pertama, Jokowi menuntut gencatan senjata secepatnya dari Israel. Tuntutan Indonesia ini dipenuhi, meskipun pasca gencatan senjata, Israel kembali menyerang Gaza. Kedua, akses bantuan kemanusiaan ke Palestina harus dipercepat dan diperluas. Jokowi mengatakan Indonesia akan terus mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Palestina dan akan ditambahkan lagi. Ia berharap negara-negara OKI bisa mengusulkan mekanisme bantuan yang berkelanjutan.

Ketiga, Indonesia mendesak OKI untuk mengerahkan semua kekuatan dalam rangka menuntut pertanggungjawaban Israel terhadap kejahatan yang dilakukan ke Palestina. Termasuk akses pada Independent International Commission of Inquiry on the Occupied Palestinian Territory yang dibentuk Dewan HAM PBB untuk menyelesaikan. Keempat, Indonesia mendesak OKI melakukan perundingan damai, sehingga terjadi solusi bagi kedua pihak. Presiden menolak pemikiran solusi untuk satu negara atau one state solution, karena menurutnya pasti mengorbankan Palestina.

Meski begitu, tak hanya pemerintah yang bertanggung jawab mengencangkan diplomasi untuk membela Palestina. Parlemen Indonesia juga harus menaikkan tone diplomasi, dari himbauan menjadi inisiatif. Setidaknya ada tiga alasan, mengapa peran DPR RI penting untuk berikhtiar bersama parlemen-parlemen sedunia guna menekan PM Benyamin Netanyahu dan negara-negara Barat yang selama ini memproteksi Israel.

Pertama, konstitusi kita secara tegas menolak segala bentuk penjajahan di atas bumi. Sebagaimana tercantum pada Alinea Pertama UUD 1945: Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Kalimat ini mengandung arti bahwa kemerdekaan adalah hak asasi manusia yang termanifestasikan dalam kemerdekaan negara bangsa.

Dengan begitu, sudah menjadi kewajiban bagi para pemimpin di Indonesia untuk memberikan dukungan bagi negara mana pun yang masih terjajah, termasuk Palestina. Di sisi lain, jika menengok sejarah, dukungan Palestina dan Mesir kepada Indonesia sangat penting pada 1945, sehingga kini saatnya kita melakukan hal yang sama untuk mereka.

Bukan Sekadar Konflik Agama

Kedua, konflik di Palestina telah melampaui batasan agama dan suku. Bukan lagi sekedar konflik Islam dan Yahudi, bukan pula antara Arab dan Israel semata. Ini adalah kejahatan kemanusiaan, dimana Zionis menyerang semua komponen yang ada di Gaza, baik itu masjid, gereja, sekolah, perumahan, bahkan rumah sakit. Mengatakan bahwa terjadi pelanggaran oleh IDF adalah terlalu lembut. Yang terjadi, dunia tak berkutik dengan Israel yang semakin semena-mena. Mereka tidak menghormati norma internasional, bahkan mengangkangi PBB dan negara-negara adidaya.

Ketiga, sebagai negara yang memiliki “representasi resmi di Gaza”, dalam wujud Rumah Sakit Indonesia, kita harus terpanggil untuk membela warga Gaza, sekaligus mempertahankan aset nasional kita disana. UU juga memberi ruang bagi kita untuk melindungi segenap sumber daya kita di seluruh dunia. Atas dasar itu, parlemen dapat membentuk pemerintah untuk memperkuat diplomasi, guna membantu mempercepat penyelesaian konflik di Jalur Gaza dan Tepi Barat.

Keempat, sebagai anggota Inter-Parliamentary Union (IPU), DPR harus mengambil peran untuk mendorong isu Palestina sebagai topik global hari ini dan di masa depan. Mengutip rilis Kementerian Luar Negeri, keberadaan IPU hari ini sangat penting dan mendapat pengakuan dari PBB. Pada Sidang Umum PBB 2002, IPU mendapat status sebagai observer, dengan hak khusus yang sangat luar biasa. Dimana IPU dapat mengedarkan dokumen di Sidang Umum PBB. Untuk IPU, hal ini jelas merupakan pencapaian tinggi di tengah-tengah upayanya untuk memberikan dimensi keparlemenan di PBB. Hingga saat ini IPU telah berangggotakan 178 parlemen dari total 193 parlemen di seluruh dunia.

Peran Indonesia di IPU dari tahun ke tahun terus menguat. Sejak bergabung pada 1959, Indonesia telah menggolkan sejumlah agenda di IPU yang menjadi inisiatif parlemen global. Terbaru, pada 144th IPU Assembly, Maret 2022 di Bali, DPR RI berhasil memandu Nusa Dua Declaration yang bertujuan untuk memobilisasi peran aktif parlemen untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Pada resolusi bertajuk Rethinking and Reframing the Approach to Peace Processes with A View to Fostering Lasting Peace bertujuan untuk mendorong peran parlemen dalam mengedepankan diplomasi damai dan secara khusus menyinggung pentingnya peningkatan peran perempuan dalam negosiasi.

Menunggu Inisiatif DPR

Lalu resolusi Leveraging Information and Communication Technology as an enabler for the education sector, including in times of pandemic bertujuan untuk mendukung hak untuk pendidikan, khususnya dalam segala tantangan selama pandemi. Dua inisiatif tersebut merupakan bukti bahwa parlemen memiliki power untuk—bersama-sama dengan pemerintah—memperkuat diplomasi di semua lini. Pada case Palestina, standing point Indonesia semakin kuat, karena kita adalah negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Pada konteks tersebut, kita memiliki tanggung jawab moral untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina.

Oleh karenanya, saya mendesak agar Ketua DPR RI Ibu Puan Maharani dapat memanfaatkan posisi strategis Indonesia hari ini untuk mendorong isu ini ke forum parlemen dunia. Pembentukan gugus tugas atau semacam Kaukus Parlemen Dunia untuk Palestina sangat dimungkinkan, mengingat skala konflik yang belum juga mereda. Terlebih saat ini posisi Indonesia di IPU cukup kuat, sehingga faktor tersebut dapat membantu kita untuk melancarkan diplomasi guna membantu resolusi konflik hadir segera.

Bahwa terdapat stereotip selama ini terkait dukungan tanpa syarat AS dan Barat ke Israel, hal tersebut bukanlah halangan untuk kita melangkah. Justru handicap tersebut harus dijadikan ujian bagi DPR untuk berfikir out of the box, dengan cara meng-create hal-hal baru, jurus diplomasi fresh, yang bisa menarik perhatian dunia. Tak ada cara yang mudah untuk setiap perjuangan. Seperti juga para founding fathers kita dulu yang penuh aral dalam menggapai kemerdekaan.

Saya yakin, dengan ketekunan, kreativitas, dan kesabaran, hasil terbaik dapat diraih. Sekali lagi, ini saatnya parlemen bergerak untuk membantu mengakhiri serangan biadab di Jalur Gaza, dan membantu Palestina menggapai kemerdekaannya. {sumber}

Penulis: Dr Ahmad Doli Kurnia Tandjung, Ketua Komisi II DPR RI