Berita Golkar – Dalam sepuluh tahun tahun terakhir, lembaga-lembaga pers di republik “mBelgedes” sudah banyak yang “bunuh diri” pelan-pelan, dan kemudin terkubur tinggal nama, dan menjadi kliping-kliping di perpustakaan.
Mengapa?
Karena, hampir delapan miliar penduduk di kolong langit, sudah bisa membuat cerita dan informasi sendiri, sesuka-sukanya. Tanpa lagi peduli kode etik jurnalistik. Dan, tanpa butuh informasi lengkap – ASDAMBA – apa siapa dimana kapan mengapa dan bagaimana.
Apalagi, saat ini, tumbuh teknologi digital bernama Artificial Intellegence. Menurut Bahasa Indonesia berarti kecerdasan buatan. Tapi, menurut mBah Coco, coba memplintir sikit-sikit jadi “Alat Imitasi.”
Makanya, perebutan kekuasaan di lembaga wartawan tertua di republik “sontoloyo” ini, Persatuan Wartawan Indonesia – PWI Pusat sangat segera perlu direvolusi. Agar, bisa mengikuti perkembangan jaman, untuk 10 sampai 50 tahun ke depan.
Untuk merevolusi lembaga, mBah Coco memiliki referensi, yang belum tentu bisa diterima dari kedua kelompok wartawan “plekutus” ini. Yaitu ketika ada pertarungan ideologi Mochtar Lubis dan BM Diah, yang sama-sama punya jabatan prestisius di jamannya, sebagai Pemimpin Redaksi, dikutip dari SuaraMerdeka.
PWI Pusat, sejatinya versi mBah Coco, pernah mengalami konflik terberat di masa Orde Lama. PWI Pusat, bahkan terbelah menjadi dua kubu. Yaitu, kubu Rosihan Anwar versus kubu Burhanudin Mohammad Diah (BM Diah). Bibit-bobot konflik, berawal dari perselisihan internal di Harian Merdeka, tempat Rosihan dan BM Diah, bekerja sekaligus sebagai pemilik koran.
Jika tercatat dalam literasi mBah Coco, tahun 1946, BM Diah dan Rosihan Anwar berebut posisi, untuk menguasai posisi jabatan sebagai Pemimpin Redaksi Harian Merdeka. Beda banget dengan mBah Coco, yang ditunjuk sebagai Pemimpim Redaksi Facebook Indonesia selamanya. Heheheheh…!
Dari cerita dua kubu yang berseteru, menurut mBah Coco, lebih kepada masalah perbedaan sikap politik dan cara mengelola media. Sehingga, keduanya berusaha saling menyingkirkan untuk memimpin Harian Merdeka.
Salah satu ilustrasi konflik menurut mBah Coco: Ketika, BM Diah yang selalu kritis terhadap Kabinet Sjahrir. Dan artikel BM Diah, pernah dimuat menyerang sikap posisi politik Kabinet Sjahrir, di Harian Merdeka.
Sedangkan, Rosihan Anwar sebagai wartawan idealis dan kontroversial, bisa-bisanya menulis berbalik. Keesokan harinya, ada berita atau ulasan mendukung Kabinet Sjahrir. Pasalnya, konsep politik dan misi visinya dalam berpolitik, antara Sjahrir dan Rosihan Anwar, sepemahaman.
Dampaknya, dari hasil konflik dua kubu tokoh pers Indonesia, berujung pemecatan Rosihan dan beberapa pendiri Harian Merdeka lainnya, oleh BM Diah.
Konflik kedua wartawan jenius ini, akhirnya merembet ke PWI. Dalam Kongres PWI, ke XIV, di Palembang, 14 – 19 Oktober 1970, organisasi wartawan yang berdiri 1946 itu, terbelah menjadi dua kubu.
Yaitu kubu yang mendukung BM Diah versus kubu yang mendukung Rosihan Anwar. Perpecahan yang ruwet bundet ini, bisa diselesaikan, dalam Kongres PWI “Integrasi” ke XV di Tretes, Malang, Jawa Timur, 30 November – 1 Desember 1973.
Menurut wartawan senior, Zainal Bintang, dalam tulisannya yang berjudul “Saya Bersama Harmoko” di Pinisi.co.id, 7 Juli 2021.
Zainal Bintang, sebagai anggota PWI, saat itu sebagai pendukung BM Diah, menghadiri kongres bersama Rahman Arge (almarhum), pendukung Rosihan Anwar. Saat itu, Zainal Bintang, berusia 27 tahun, dan Rahman Arge, 38 tahun.
Kongres PWI di Tretes disebut PWI “Integrasi” karena kongres itu bertujuan menyatukan kepengurusan PWI, BM Diah dan Rosihan Anwar.
Dari cerita di atas, Harmoko akhirnya terpilih menjadi Ketua Umum PWI, diembel-embeli istilah “Dewan Pelaksana”, didampingi Brigjen TNI AD (Purn) Sunardi DM, sebagai Sekertaris Umum. Sunardi, terkenal sebagai penulis serial cerita wayang dan Pemimpin Redaksi Harian Berita Yudha, milik Angkatan Darat. Kebetulan, mBah Coco pernah menjadi bagian dari Berita Yudha, versi Valens Doy, 1996 – 97.
Dari perhelatan di Tretes, menurut cerita, memang sengaja diadakan. Tujuannya, untuk mengakhiri dualisme di tubuh PWI. Sekaligus, sebagai jalan tengah “memotong” kelanjutan perseteruan dua kubu dedengkot PWI, BM Diah dan Rosihan Anwar.
Ketika terpilih di Tretes, Harmoko berusia 34 tahun. Dia adalah Ketua PWI Jaya pendukung PWI Rosihan. Delegasi Sulawesi Selatan, adalah salah satu yang termasuk paling nyaring menyuarakan nama Harmoko sebagai calon Ketua Umum untuk mendorong regenerasi di tubuh PWI.
Dari literasi mBah Coco, saat itu, BM Diah berusia 56 tahun, dan Rosihan Anwar, 51 tahun, akhirnya kongres PWI Tretes, menjadi momentum menyatukan kedua tokoh pers legendaris, dalam wadah jabatan baru, yang disebut “Dewan Pembina”.
Ya menurut mBah Coco, seperti posisi “penampungan” para wartawan senior, yang punya jabatan sebagai Pemimpin Redaksi. Misalkan, tokoh-tokoh seperti Jacob Oetama (Kompas), dan H.G. Rorimpandey (Pemred Sinar Harapan), diberi posisi sebagai tokoh pers, sekaligus penasehat.
Versi mBah Coco. Jika, diawal-awal pembentukan lembaga PWI, yang merancang dan punya peran sebagai tokoh-tokoh pilar demokrasi ke-4, memang memiliki kapabilitas mumpuni, sekaligus punya jabatan trengginas dan berbobot.
Beda sekali, dengan pengurus PWI Pusat di jaman “now”. Seperti Hendry Ch Bangun (versi PWI Pusat) dan Zulmansyah Sekedang (versi PWI KLB). Menurut mBah Coco, Mereka berdua, tidak ditempa dalam “passion” berpolitik. Mereka juga tidak katham dalam dunia keredaksionalan. Dan, karya-karya jurnalistik pengurus PWI Pusat, sangat rendah. Kalau, tidak mau dikatakan dangkal.
Yang membedakan pengurus PWI jaman dulu dan sekarang. Dulu, para pengurus PWI adalah tokoh wartawan, dan penulis handal, sekaligus pemilik media cetak. Kalau pengurus PWI jaman “now”, rata-rata adalah karyawan (gajian), dan tak mampu punya media cetak sendiri. Makanya, pola pikirnya – pragmatis. Hanya cari jabatan, cari duwit, tapi kemampuan untuk memimpin organisasinya – kosong blosss, alias bodong.
Sehingga, misi visinya terlihat sangat “kacangan”, dalam mengelola organisasi. Dampaknya, sangat merusak integritas sebagai seorang jurnalis, sekaligus merusak moral dan etika jurnalistik. Yaitu, nyolong, ngutil atau panciluk (istilah bahasa Minang).
SAATNYA MEUTYA HAFID
Sampai Kongres PWI Pusat tahun 2028, suasana organisasi PWI Pusat, tetap akan berlangsung saling klaim, dan saling menang-menangan sendiri. Pemerintah rezim Prabowo Subianto, melihat dari sisi berbeda. Bahwa, tidak mudah menyelesaikan dualism organisasi PWI Pusat.
Oleh sebab itu, mBah Coco, memberi referensi jejak sejarah PWI, di jaman Rosihan Anwar dan BM Diah. Di mana, dengan tagline Kongres PSSI “Integrasi” di Tretes, Malang. Masuklah, nama Harmoko, yang saat itu sebagai ketua PWI Jakarta.
Saat itu, semua wartawan senior atau pun junior, tidak ada yang membrontak, protes atau menggugat posisi Harmoko. Mengapa?
Pasalnya, Harmoko, adalah wartawan tulen, yang berkarya dari bawah bersimbah keringat di lapangan, dan sukses menjadi wartawan, dan kemudian mampu menduduki organisasi wartawan Jakarta.
Dalam format yang berbeda, di aman “now”, mBah Coco, menyarankan kepada kedua belah kubu, baik kubu Hendry Ch Bangun dan Zulmansyah Sekedang, untuk jangan lagi berambisi menjadi orang nomor satu di dunia jurnalis. Karena, keduanya tidak memiliki integritas sebagai seorang pemimpin organisasi.
Saran mBah Coco, rezim Prabowo Subianto, harus mengambilalih lembaga wartawan Indonesia, hanya untuk menyelesaikan kasus dualism organisasi PWI, sekaligus menyelematkan wajah PWI di mata pemerintah, sekaligus di mata masyarakat. Karena, dualisme PWI, yang paling dirugikan adalah masyarakat.
Mengapa masyarakat dirugikan?
Karena, pembaca informasi berita apa pun dari media cetak dan media online atau media social, semua informasinya sudah tidak dipercaya, dan tidak memiliki legitimasi sebagai berita, artikel atau apa pun bentuk tulisan karya wartawan.
Karena, wartawan sudah tidak dianggap benar. Lha, organisasinya saja nyolong dan kentit uang. Bijimane, percaya dengan tulisannya?
mBah Coco, menyarakan Meutya Hafid, yang sekarang menjadi Menteri Komunikasi dan Digital Republik Indonesia, dalam pemerintahan Prabowo Subianto, ditunjuk sebagai penyelemat organisasi PWI Pusat. Mirip sekali, dengan kasus Harmoko, saat ditunjuk sebagai Ketua PWI Pusat, 1973.
Jika Meutya Hafid yang ditunjuk pemerintah, dan juga tidak diprotes oleh para wartawan di lingkungan PWI. Karena, menurut mBah Coco, Muthya adalah wartawan tulen, yang kebetulan dibesarkan oleh media televisi.
Namun, reputasi Meutya Hafid, tidak perlu diragukan lagi. Lihat saja di laman mBah Google. Ada segudang penghargaan dan ilmu jurnalistik yang sangat brilian dikerjakan, selama sebagai jurnalis tivi.
Sejak disandera di Irak tahun 2005, sekaligus membuat biografi bunya bertajuk “Memoar Jurnalis yang Disandera di Irak.”, akhirnya mendapat penghargaan dari pemerintah Australia, Jurnalistik ElizabethO’Neill. Selama di MetroTV, punya rubrik mentereng sekaligus bergengsi, seperti Top Nine News, Today’s Dialogue dan Metro Hari Ini, sudah merupakan prestasi tersendiri.
Dalam jejaknya, meutya Hafid, tercatata dalam 30 ribu orang Indonesia, yang berkiprah di Australia, sebagai pelajar yang sukses berkontribusi besar, hubungan Indonesia dan Australia, terjalin sebagai sahabat.
Tahun 2012, Meutya Hafid, mendapat penghargaan 5 Tokoh Pers Inspiratif Indonesia versi Mizan, sebuah lembaga penerbit buku prestisius. Meutya Hafid, bersama Tirto Adhi Soerjo, pendiri koran pertama di Indonesia “Medan Prijaji, Goenawan Mohamad, pendiri Majalah Tempo, Rosihan Anwar, Tokoh Pers Indonesia, dan Andy F Noya, host Kick Andy di MetroTV.
Jadi saran mBah Coco, bukan untuk mengada-ada atau berkiblat di salah satu pihak yang berseteru, dari kubu Hendry Ch Bangun atau pun Zulmansyah Sekedang. Tapi, untuk menyelematkan organisasi PWI, yang sejak awal sebagai kiblat dan dihargai masyarakat, sebagai organisasi berintegritas, dalam mencerdaskan bangsa, ternyata saat ini “mlempen” bagaikan “tong sampah”.
“Kita wajib semakin sadar, bahwa wartawan tak hanya butuh intelektual dan berwawasan. Tetapi juga keberanian dan kegigihan. Meutya Hafid juga menyadarkan, bahwa wartawan bukan hanya profesi kaum pria,” demikian pesan Mizan, penerbit buku.
Bijimane? {}
Oleh: Erwiantoro Cocomeo Cacamarica