Berita Golkar – Anggota DPR Fraksi Golkar Robert J Kardinal menyoroti langkah PT Freeport Indonesia (PTFI) meminta relaksasi ekspor mineral dan perpanjangan izin usaha pertambangan khusus. Freeport diingatkan untuk patuh dan tunduk terhadap regulasi yang berlaku.
FREEPORT melalui induk ¬usahanya Freeport Mc MoRan Inc, lanjut dia, termasuk perusahaan tambang yang mendapat hak istimewa ketika pertama kali berinvestasi ke tanah Papua pada tahun 1967. Saat itu, Freeport menjadi perusahaan penanaman modal asing (PMA) yang pertama beroperasi di Indonesia.
“Jadi persoalan Freeport memang merupakan persoalan yang sudah panjang sekali. Freeport ini kan sebenarnya sudah mendapat privilage, yang sangat-sangat istimewa dari semua perusahaan tambang yang ada di Indonesia,” kata politisi daerah pemilihan Papua Barat Daya ini.
Dia menilai, sejak beralihnya rezim Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), maka harusnya privilege itu berakhir. Tapi yang terjadi, keistimewaan ini tetap melekat hanya kepada PTFI. Salah satunya dilihat dari ke¬engganan PTFI untuk membangun smelter di Papua.
Robert menjelaskan, Peme¬rintah ketika itu mendorong agar smelter atau pabrik pemurnian milik PTFI dibangun di Papua, agar terintegrasi dengan kegiatan penambangan. Dengan harapan, jika dibangun di Papua, terjadi pemerataan pembangunan di seluruh Indonesia.
“Tapi Freeport menolak dan bermanuver segala macam, dengan berbagai alasan, hingga akhirnya bangunnya di Gresik. Itu pun diperlambat. Malah sekarang terus meminta keistimewaan untuk relaksasi ekspor,” sesalnya.
Bagi Robert, penolakan Freeport membangun smelter di Papua hanyalah akal-akalan saja. Sebab faktanya, smelter yang dibangun di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Java Integrated and Ports Estate (JIIPE) Gresik ini pun tak kunjung beroperasi 100 persen. Malah Freeport dengan berbagai alasan meminta Pemerintah memuluskan relaksasi ekspor sampai akhir tahun 2024 dan IUPK yang berakhir tahun 2041 diperpanjang menjadi tahun 2061.
“Ini yang menurut saya ini hanyalah akal-akalan saja nih yang terjadi. Pemerintah pada posisi ini harusnya tegas,” tegas anggota Komisi X DPR ini.
Dia mengingatkan, UU ¬Minerba pasal 169B ayat (2) menegaskan bahwa perpan¬jangan IUPK dapat dilakukan lima tahun dan paling lambat dalam satu tahun sebelum izin berakhir. Dengan demikian, PTFI baru bisa mengajukan perpanjangan IUPK pada tahun 2036, dan paling lambat tahun 2040.
“Ini ada apa dengan Freeport? Kok sangat istimewa hanya untuk perusahaan ini saja. Ini jadi pertanyaan buat kita apalagi Freeport ini kan seingat saya ¬sudah tiga kali diperpanjang. Kalau diperpanjang lagi, menurut saya berpotensi melanggar undang-undang,” sebutnya.
Robert juga mempertanyakan apakah PTFI telah membayar denda sebagaimana temuan BPK pada tahun 2017 lalu bahwa ada potensi kerugian negara yang dilakukan PTFI dari sisi penerimaan negara bukan pajak dalam rentang 2009-2015. Kerugian yang disebabkan perusahaan multinasional itu mencapai USD 445,96 juta, atau setara dengan Rp 6 triliun (kurs Rp 13.565 per dolar AS).
Apalagi, laporan IHPS I Tahun 2023, BPK merekomendasikan Pemerintah mengenakan denda kepada PTFI akibat keterlambatan pembangunan smelter di Gresik sebesar Rp 7,7 triliun (kurs Rp 15.490 per dolar AS). Hitungan itu berasal dari data ¬realisasi penjualan ekspor Freeport selama periode keterlambatan sebelum masa perpan¬jangan izin ekspor berlaku ¬tengah tahun ini.
“Nah ini apakah sudah dibayar dan ditagihkan? Belum lagi masalah lingkungan hidup yang jika dihitung dengan kasus tambang timah di Bangka Belitung Rp 271 triliun. Jika dihitung semua potensi kerugian yang diakibatkan dampak penambangan Freeport bisa lebih besar dari yang di Babel,” tambahnya. {sumber}