Berita Golkar – Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun meminta agar langkah konsolidasi Bank Perekonomian Rakyat (BPR) tidak mengorbankan dukungan bagi sektor UMKM. Hal itu disampaikan Misbakhun menyusul pembahasan intensif yang sedang dilakukan Komisi XI terkait nasib BPR pasca-berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2023 Tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
“Saat ini Komisi XI sedang mendiskusikan permasalahan BPR ini secara sangat intensif, sesuai mandat Undang-Undang P2SK,” kata Misbakhun, kepada wartawan, Jumat (8/8/2025), dikutip dari RM.
Misbakhun menekankan, dalam UU P2SK banyak aturan baru yang mengatur BPR, termasuk soal konsolidasi, IPO (go public), serta peran BPR dalam mendorong perekonomian rakyat, khususnya UMKM.
Menurutnya, langkah konsolidasi yang kini ditempuh OJK melalui merger dan akuisisi harus dilihat secara hati-hati. Apalagi, OJK mulai menerapkan standar akuntansi penerapan sistem PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) 71, yang mengharuskan BPR memiliki cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) sebagai antisipasi risiko kredit.
“Kalau ini diterapkan tanpa memperhitungkan kondisi riil BPR dan UMKM, maka penyaluran kredit kepada sektor UMKM akan sulit. Ini berisiko tinggi bagi perekonomian nasional,” tegas politisi Golkar itu.
Misbakhun mengaku sepakat bahwa tata kelola BPR harus diperbaiki. Namun, ia mengingatkan agar perbaikan tersebut tidak sampai mematikan semangat BPR untuk tetap menyalurkan kredit ke sektor usaha kecil.
“UMKM adalah tulang punggung ekonomi nasional. Kalau porsi dukungan terhadap mereka menyusut, ini berbahaya. Banyak BPR yang menyalurkan kredit ke UMKM dengan dana dari channeling. Kalau ini terganggu, efeknya luas,” ujarnya.
Untuk itu, ia meminta OJK dalam diskusi-diskusi ke depan dengan Komisi XI lebih memperhatikan daya dukung terhadap BPR agar tetap hidup, tumbuh, dan berkembang.
“OJK boleh mengatur dan mengawasi, tapi juga wajib memberikan ruang hidup yang cukup bagi BPR agar tetap bisa berkontribusi pada perekonomian nasional,” pungkasnya.
Sebelumnya, sejumlah perwakilan BPR melakukan rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi XI DPR, di Jakarta. Hadir antara lain Direktur Utama Nusantara Bona Pasogit (NBP) Hendi Apriliyanto. Dalam rapat tersebut, Hendi menyampaikan bahwa BPR ingin berkembang sesuai dengan analisa dan kebutuhan bisnis, tanpa paksaan dari otoritas atau pihak lainnya.
Hendi meminta penggabungan BPR untuk pengembangan bisnis agar dilakukan hanya berdasarkan analisa dan kebutuhan bisnis, bukan dengan paksaan. Dengan penggabungan paksa, kata Hendi, akan berdampak terhadap perubahan karakteristik dan pengelolaan BPR yang sejatinya merupakan bank di tingkat daerah/kabupaten/kota, bukan di kepulauan utama.
Lalu, penggabungan paksa BPR berpotensi membuat pengurangan tenaga kerja, dari tingkat pengurus BPR (direksi dan komisaris) hingga karyawan sehingga berpotensi menambah tingkat pengangguran.
Kemudian, kata Hendi, akan berdampak terhadap perekonomian daerah, yang mana pemerintah daerah mengharapkan uang yang berasal dari daerah tidak keluar dari daerah wilayah mereka.
Menurut Hendi, apabila penggabungan Pemilik Saham Pengendali (PSP) yang sama diwajibkan, akan memungkinkan dana yang sebelumnya ada di daerah (kabupaten/kota) keluar ke daerah letak kantor pusat BPR hasil penggabungan. “Hal ini tentu menyebabkan dampak negatif perekonomian di daerah tersebut,” ujar Hendi.
Hendi menyampaikan dalam Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), yang mengatur adanya penggabungan atau peleburan dalam 1 wilayah pulau atau kepulauan utama, bahkan tidak ada POJK khusus yang mengatur tentang penggabungan BPR dalam satu kepemilikan PSP dalam 1 wilayah pulau atau kepulauan utama.
Apabila berkaca dari POJK No. 39/POJK.03/2017 Tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia (Bank Umum), yang mengatur bahwa di seluruh wilayah Indonesia hanya boleh satu bank dan satu PSP bank atau Single Presence Policy (SPP), ia menyebut peraturan ini hanya berlaku bagi Bank Umum.
Sekalipun demikian, menurut dia, kebijakan SPP bank umum yang telah diatur itu pun masih harus dipertanyakan, apakah peraturan tersebut dibuat berdasarkan hukum dari undang-undang (UU).
“Seharusnya aksi korporasi untuk melakukan penggabungan atau peleburan tidak boleh dipaksakan, karena hal itu harus dilakukan sesuai dengan analisa bisnis/kebutuhan semata (secara alamiah), baik karena kebutuhan akan pemenuhan permodalan, kebutuhan akan peningkatan daya saing dan kebutuhan lainnya yang relevan dalam bisnis,” ujar Hendi. {}