Misbakhun Kritik Pemerintah Selalu Ambil Manfaat Dari Industri Tembakau Tapi Abai Ekosistemnya

Berita Golkar – Polemik isu pertembakauan yang dikaitkan dengan isu kesehatan terus berlangsung di tanah air. Berbagai regulasi yang dibuat pemerintah, kerapkali merugikan ekosistem pertembakauan.

Belum lama pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Kemudian, Kementerian Kesehatan tengah merampungkan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) 2024 tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik, yang terus mendapatkan gelombang penolakan dari ekosistem pertembakauan.

Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun mengatakan, pada isu-isu yang menyangkut tembakau, seakan-akan Negara hanya mengambil manfaatnya tetapi kemudian abai dan tidak peduli terhadap bagaimana sektor perburuhan yang sudah memberikan sumbangsih begitu banyak manfaat bagi masyarakat untuk bekerja di sektor mulai dari sektor pertanian, kemudian perdagangan hasil industri tembakau, dan sektor-sektor terkait lainnya.

Menurut Misbakhun, hal-hal ini tidak pernah dibicarakan seakan-akan negara ini tidak pernah memperhatikan sektor tembakau ini dari sisi transformasi bisnisnya, berapa sih kebutuhan tembakau kita per tahun yang harus disediakan oleh sektor agriculture kita? Berapa luas lahan sehingga perkembangan bisnis industri hasil tembakau ini yaitu industri sigaret ini kebutuhan tembakaunya itu dipasok oleh lokal semuanya atau ada unsur impornya?

“Kenapa kita kemudian kalau industri itu membesar, memberikan dampak kepada sektor agriculture kenapa kita tidak kemudian berusaha melakukan pelarangan ekspor, pelarangan impor, sehingga setiap kebutuhan tembakau industri hasil tembakau dalam negeri itu dipenuhi oleh petani lokal dulu, walaupun ada kriteria-kriteria tembakau tertentu yang memang harus impor. Lah ini tidak pernah kita bicarakan,” kata Misbakhun saat berbicara dalam Halaqoh Nasional ‘Telaah RPMK 2024 tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik” yang digelar Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) di Jakarta, Selasa (17/9/2024).

Politisi Golkar itu menambahkan, kalau kemudian kita tidak pernah memikirkan bagaimana sektor hulunya itu dibicarakan, akan bagaimana membangun sistem pertanian, membangun sistem pembibitan yang baik, kemudian nilai tukar pertanian kita tingkatkan, kalau kurang lahan berapa yang harus kita perluas, konversi lahan di bidang apa saja yang harus, ini tidak pernah kita bicarakan.

“Kementerian Pertanian seakan-akan menganaktirikan sektor perkebunan tembakau ini, padahal rakyat yang mendapatkan manfaat luar biasa dari sektor ini sangat banyak. Orang yang pergi berhaji karena punya lahan tembakau, sangat banyak, orang yang bisa menyekolahkan anaknya, mengkuliahkan anaknya juga banyak, tapi seakan-akan negara tidak pernah peduli,” tegas Misbakhun.

Belum lagi mengenai pertarungan pemikiran global antara kelompok-kelompok yang selama ini mendukung rezim anti tembakau yang dibiayai oleh sebuah gerakan filantropis global melakukan konsolidasi pembentukan opini di media massa yang massif dan kontinyu, terus kita tercerai berai dengan isu dimana kita tidak dalam konsolidasi yang kuat terkait kepentingan nasional kita.

“Inilah kalau menurut saya pesan yang harus dijadikan pengingat kita yang ikut halaqoh hari ini, karena kita dengan satu isu, yaitu PP 28/2024 ini saja kita sudah kocar kacir, hanya dengan isu kesehatan,” terangnya dikutip dari Akurat.

Menurut Misbakhun, PP 28/2024 ini sangat jelas apa yang tidak ada dalam UU diatur di dalam PP-nya. Jelas sekali ini adalah konsolidasi kelompok yang anti tembakau untuk memasukkan seakan-akan isu tembakau itu hanya isu kesehatan semata.

“Kalau kita perhatikan, apa yang tidak diatur di UU diatur di PP, apakah boleh PP itu sebagai pelaksana UU mengatur yang hal yang berbeda dengan UU-nya? Inilah yang harus dijadikan acuan kita,” ujar politisi Partai Golkar ini.

“Cara menyusun PP-nya ini sendiri coba lihat, kalau memang UU Kesehatan yang dijadikan acuan, UU yang berkaitan dengan batasan memasarkan dan sebagainya itu kan tidak diatur secara eksplisit. Tapi kemudian kenapa di dalam PP-nya itu sangat detail seakan ini sebagai pelaksana, misal, aturan batas umur dari 18 tahun ke umur 21 tahun, display gambar kemasan, dan sebagainya,” jelasnya lagi.

Yang menjadi pertanyaan, apakah pemerintah sudah menyiapkan strategi pengganti penerimaan cukai hasil tembakau sebesar Rp300 triliun di industri hasil tembakau ini? Apakah sesederhana ajakan para aktivis anti tembakau yang mendorong petani tembakau disuruh konversi menjadi profesi lalin, seakan-akan profesi sebagai petani tembakau itu profesi yang haram untuk dijalani. Inilah yang harus kita kuatkan.

“RPMK ini juga harus kita kritisi peraturan pelaksanaan lebih bawahnya lagi, jangan sampai kemudian preseden PP-nya itu lebih kuat pengaturannya dibandingkan UU-nya dan kita gagal menjalankan disiplin konstitusi kita, yang tidak diatur di UU diatur di PP. Kemudian RPMK yang mengatur hal yang berbeda lagi,” tukasnya. {}