Misbakhun Ungkap Anomali: Ekonomi RI Terus Tumbuh, Tapi Rasio Pajak Atas PDB Stagnan

Berita Golkar – Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau DPR RI menemukan kejanggalan kondisi pajak di Indonesia. Di antaranya ialah masalah rasio pajak atau tax ratio yang stagnan saat ekonomi selalu tumbuh dari tahun ke tahun, termasuk setoran pajaknya itu sendiri.

Sebagaimana diketahui, ekonomi Indonesia tumbuh tiap tahunnya di kisaran 5% beberapa tahun terakhir. Data terakhir yang dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sampai kuartal III-2024, ekonomi RI masih tumbuh 4,95%, dari senilai Rp 3.125 triliun atas dasar harga konstan pada kuartal III-2023, menjadi Rp 3.279,6 triliun.

Setoran pajak pun terus naik dari tahun ke tahunnya. Pada 2024, mampu tumbuh ketimbang 2023, meski tak capai target. Pada tahun itu Kementerian Keuangan mencatat penerimaan pajak Rp 1.932,4 triliun atau 97,2% dari target APBN 2024 sebesar Rp 1.988,9 triliun. Namun, nilainya masih naik 3,5% dibanding tahun sebelumnya Rp 1.867,9 triliun.

Sementara itu, tax ratio Indonesia stagnan di kisaran 10% dari produk domestik bruto (PDB) beberapa tahun terakhir dengan kecenderungan menurun. Pada 2018, angkanya 10,24%, lalu saat merebaknya Pandemi Covid-19 atau pada 2020 sempat anjlok ke level 8,33%, namun baru ke posisi 10,38% pada 2022. Meski pada 2023 hanya menjadi 10,21%.

Mengutip definisi yang tertera dalam website Direktorat Jenderal Pajak, tax ratio itu sendiri adalah perbandingan antara total pajak yang dikumpulkan oleh pemerintah dengan produk domestik bruto (PDB) suatu negara. Tax ratio menjadi indikator penting untuk mengukur sejauh mana suatu negara mampu mengumpulkan pajak dibandingkan dengan total produksi ekonominya.

“Kita mengalami situasi bahwa ekonomi kita tumbuh, tetapi yang terjadi bahwa tax ratio kita itu decline. Ketika tax ratio kita decline, sementara pertumbuhan ekonomi kita naik, ini sebuah anomali,” kata Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun dalam program Cuap-Cuap Cuan CNBC Indonesia, dikutip Selasa (21/1/2025).

Menurut Misbakhun, sebetulnya Indonesia pernah mencatatkan angka tax ratio di atas 12% pada 2005 yakni sebesar 12,74%. Saat diberlakukan kebijakan sunset policy pada 2008, tax ratio bahkan sempat menyentuh level kisaran 13%. Namun, setelah itu terus stagnan di kisaran 10%.

Padahal, bila tiap tahunnya Indonesia mampu menjaga laju pertumbuhan tax ratio, sebagaimana terjaganya pertumbuhan ekonomi tiap tahunnya selama 20 tahun terakhir, Misbakhun memperkirakan, angka rasio pajak terhadap PDB bisa mencapai 16%.

“Tapi apa yang terjadi? Makin decline. Ada delta negatif, ada gap yang makin menuju penurunan. Artinya apa? Ada situasi-situasi yang memang kita harus memperbaiki. Kenapa ini terjadi? Pertumbuhan kita naik, terus tax ratio kita menurun,” ucap Misbakhun.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara sempat menyebut, tax ratio Indonesia saat ini seharusnya di level 12,2% dari PDB. Namun, karena pemerintah menerapkan kebijakan belanja pajak berupa insentif fiskal senilai 1,8% dari PDB, level tax ratio harus terpangkas menjadi hanya sebesar 10,4%.

Tapi, Misbakhun mengingatkan, kebijakan pemberian insentif pajak bukan baru-baru ini digelontorkan pemerintah, sejak era 1980-an model kebijakan itu ia tegaskan sudah ada, hanya skema dan bentuk implementasinya saja yang bervariasi dari tahun ke tahun.

“Sejak kita menganut prinsip self assessment pada 1983, yang namanya tax incentive dalam bentuk ditanggung pemerintah, dibebaskan, fasilitas macam-macam itu sudah ada, bahkan itu ada di PPh, mauin pajak tidak langsung dalam bentuk PPN,” ucapnya.

Ia mengaku, permasalahan ini harus segera diperbaiki pemerintah. Sebagaimana diketahui, semakin tinggi tax ratio maka menandakan kebijakan pengumpulan pajak pemerintah makin baik, dan tingkat kepatuhan pembayaran pajak para wajib pajak juga makin tinggi.

Menurut Misbakhun, pemerintah memiliki semua alat untuk mencari sumber masalah itu. Sementara itu, DPR memiliki peran supaya kebijakan yang dijalankan pemerintah betul-betul memberi dampak positif bagi masyarakat, baik dari sisi perbaikan kondisi keuangan negara maupun ekonomi secara keseluruhan.

“Inilah yang harus kita temukan formulasinya. Tugasnya negara kan itu. Kita punya ahli riset ekonomi yang hebat, kita punya banyak universitas yang hebat, mau di dalam negeri, mau luar negeri, mau kombinasi itu semua ada,” paparnya. {}