Berita Golkar – Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR RI Mukhtarudin menyebut penggunaan energi baru terbarukan (EBT) sangat penting menjadi solusi dalam mencegah efek terburuk dari kenaikan suhu.
Anggota Komisi yang membidangi sektor energi DPR ini bilang walaupun realisasi proporsi energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional mencapai 14,1% per 2024.
Namun, Mukhtarudin mengatakan bahwa Fraksi Partai Golkar Senayan optimis target pencapaian bauran energi nasional dari Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025 ini dapat tercapai.
“Artinya, target yang telah dicanangkan pemerintah dalam Kebijakan Energi Nasional (KEK) yakni sebesar 23% pada 2025 merupakan komitmen bangsa yang harus direalisasikan,” tutur Mukhtarudin, Kamis (30/1/2025), dikutip dari Radar Aktual.
Politisi Dapil Kalteng ini mengingatkan dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 tersebut fokus pada energi baru terbarukan.
Jadi, menutut Mukhtarudin, kapasitas EBT dalam RUPTL tersebut sejalan dengan upaya mempercepat transisi energi dan mendukung pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen.
“Transisi energi menuju keberlanjutan adalah sebuah keniscayaan bagi Indonesia, terutama di tengah isu perubahan iklim global yang semakin mendesak,” pungkas Muktarudin.
Energi Hijau Untuk Industri
Diketagui, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menilai, penggunaan energi hijau atau energi baru dan terbarukan (EBT) lebih cocok untuk kebutuhan industri daripada untuk konsumsi rumah tangga.
“Dalam pandangan saya, energi hijau ini cocok untuk membiayai industri-industri yang melahirkan produk, yang kemudian harganya bisa kompetitif di pasar global,” ucap Bahlil dalam acara bertajuk “Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Tantangan dan Peluang di Era Baru” di Jakarta, Kamis.
Menurut Bahlil, energi hijau membutuhkan biaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan energi fosil.
Apabila energi hijau dipakai hanya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga, Bahlil meyakini akan terjadi pembengkakan biaya untuk memproduksi energi tersebut.
“Akan terjadi over-cost, bisa jadi membebani rakyat atau membebani subsidi pemerintah,” ucap Bahlil.
Sedangkan, anggaran untuk subsidi tersebut bisa digunakan untuk hal-hal lainnya yang juga menjadi perhatian pemerintah.
“Oleh karena itu pengembangan energi baru dan energi terbarukan lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan industri,” pungkas Bahlil Lahadalia. {}