Mukhtarudin Paparkan Tiga Strategi MPR Hadapi Tantangan Zaman di Usia ke-80

Berita GolkarMenjelang peringatan 80 tahun Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), Anggota MPR sekaligus Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR RI, Mukhtarudin menegaskan peran MPR sebagai garda terdepan dalam menjaga konstitusi dan mengawal demokrasi Pancasila.

Dalam pernyataan bertajuk “80 Tahun MPR RI: Menjaga Konstitusi, Mengawal Demokrasi”, Mukhtarudin menguraikan tiga langkah strategis yang mendalam untuk memastikan MPR tetap relevan di tengah tantangan zaman, mulai dari polarisasi politik hingga disrupsi teknologi.

Pertama, Literasi Konstitusional Berbasis Digital

Mukhtarudin menyoroti pentingnya literasi konstitusional sebagai fondasi demokrasi Pancasila, terutama di era digital yang didominasi generasi muda.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, lebih dari 50% penduduk Indonesia adalah generasi Z dan milenial, yang sebagian besar mengakses informasi melalui platform digital.

“MPR harus beradaptasi dengan memanfaatkan teknologi untuk menyebarkan nilai-nilai Pancasila dan pemahaman tentang UUD 1945,” ujar Mukhtarudin, Jumat 8 Agustus 2025.

Peraih penghargaan tokoh pejuang Pancasila versi KNPI tahun 2021 ini mengusulkan inisiatif seperti Sekolah Konstitusi Digital, sebuah platform daring interaktif yang menggabungkan modul pendidikan, gamifikasi, dan diskusi virtual tentang empat pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika).

Lebih jauh, Mukhtarudin menekankan perlunya menjangkau kelompok-kelompok terpinggirkan, seperti masyarakat di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) dan komunitas adat.

“Kita bisa menggunakan teknologi seperti aplikasi mobile untuk menyampaikan materi konstitusi dalam bahasa daerah atau format yang mudah dipahami,” tandas Mukhtarudin.

Mengingat, kata Mukhtarudin, pendekatan ini tidak hanya memperkuat kesadaran konstitusional, tetapi juga memastikan demokrasi Pancasila bersifat inklusif, tidak hanya terpusat di perkotaan.

Mukhtarudin juga mengusulkan kerja sama dengan influencer dan kreator konten untuk membuat kampanye daring yang viral, seperti video pendek atau podcast tentang sejarah konstitusi, untuk menarik perhatian generasi muda.

Kedua, Musyawarah Kebangsaan: Menjembatani Polarisasi Politik dan Sosial

Polarisasi politik yang semakin mengemuka, terutama pasca-pemilu 2024, menjadi perhatian serius Mukhtarudin. Ia mengacu pada laporan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang menyebutkan bahwa polarisasi berbasis identitas politik dan agama telah melemahkan kohesi sosial di Indonesia.

Untuk mengatasinya, Mukhtarudin mengusulkan Musyawarah Kebangsaan sebagai platform dialog nasional yang diprakarsai MPR.

“Sebagai forum tertinggi musyawarah rakyat, MPR memiliki legitimasi untuk menyatukan berbagai elemen masyarakat tokoh agama, akademisi, aktivis pemuda, hingga perwakilan buruh dan petani dalam mencari solusi atas isu-isu krusial,” jelasnya.

Musyawarah ini, menurut Mukhtarudin, harus dirancang dengan pendekatan yang inklusif dan berorientasi pada kepentingan nasional, bukan kepentingan kelompok politik tertentu.

Mukhtarudin mencontohkan isu-isu seperti ketimpangan ekonomi, yang menurut Bank Dunia masih menempatkan Indonesia pada indeks Gini 0,38, serta ancaman intoleransi dan separatisme.

“MPR bisa mengadopsi model dialog berbasis teknologi, seperti town hall virtual, untuk memastikan partisipasi luas, termasuk dari daerah-daerah terpencil,” bebernya.

Mukhtarudin menyarankan agar hasil musyawarah ini dirumuskan dalam rekomendasi kebijakan yang konkrit, misalnya pedoman nasional tentang toleransi atau strategi pengentasan kemiskinan, yang dapat menjadi acuan bagi pemerintah dan DPR.

Ketiga, Menjaga Integritas Konstitusi

Sebagai lembaga yang berwenang mengubah dan menetapkan UUD 1945, MPR memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga integritas konstitusi.

Mukhtarudin mengingatkan bahwa amandemen konstitusi pada 1999-2002 telah membawa perubahan positif, seperti pemilihan presiden secara langsung dan penguatan checks and balances melalui pembentukan DPD.

Namun, ia memperingatkan bahwa setiap wacana amandemen di masa depan harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian agar tidak menggerus prinsip-prinsip dasar Pancasila, seperti keadilan sosial, persatuan, dan supremasi sipil.

“Setiap usulan amandemen harus melalui proses yang transparan dan melibatkan partisipasi publik yang luas,” tegas Mukhtarudin.

Mukhtarudin bilang mekanisme seperti public hearing di berbagai daerah, konsultasi daring, dan keterlibatan akademisi serta organisasi masyarakat sipil untuk memastikan bahwa perubahan konstitusi mencerminkan kehendak rakyat.

Sebagai contoh, Mukhtarudin menyebut pentingnya menjaga keseimbangan antara penguatan demokrasi dan perlindungan terhadap nilai-nilai Pancasila, seperti mencegah amandemen yang dapat membuka ruang bagi liberalisme ekonomi ekstrem atau fragmentasi nasional. “Artinya MPR harus menjadi penjaga gerbang konstitusi,” imbuhnya.

Tantangan dan Harapan

Mukhtarudin menyadari bahwa implementasi ketiga langkah ini tidaklah mudah. Tantangan seperti keterbatasan anggaran, resistensi terhadap perubahan di kalangan elit politik, dan rendahnya literasi digital di beberapa daerah menjadi hambatan nyata.

Namun, politisi Dapil Kalteng ini optimistis bahwa dengan komitmen kuat dan kerja sama lintas sektor, MPR dapat menjadi motor penggerak demokrasi Pancasila yang dinamis dan inklusif.

“Memasuki usia 80 tahun MPR RI harus membuktikan bahwa bukan hanya saksi sejarah, tetapi juga arsitek masa depan bangsa,” tutup Mukhtarudin.

Pernyataan Mukhtarudin ini diharapkan menjadi pemicu diskusi nasional tentang peran MPR di era modern, sekaligus menggugah kesadaran kolektif untuk menjaga konstitusi sebagai jangkar persatuan dan demokrasi Indonesia. {}