Berita Golkar – Partai Golkar Riau kembali menghadapi babak penting dalam perjalanannya, yakni Musyawarah Daerah (Musda) yang akan menentukan siapa pemimpin DPD I Partai Golkar Riau ke depan. Isu yang mengemuka kali ini bukan sekadar siapa yang akan terpilih, tetapi juga bagaimana proses politik di internal partai berjalan.
Dr. Tito Handoko, S.IP., M.Si, pengamat politik dari Universitas Riau, menyoroti fenomena yang tengah berkembang. Menurutnya, hasil Pemilu 2024 menjadi tamparan keras bagi Partai Golkar di Riau.
Meskipun masih mampu mengamankan tiga kursi DPR RI, performa partai berlambang beringin ini anjlok di tingkat kabupaten/kota serta dalam perhelatan Pilkada. Hal ini dianggap sebagai evaluasi, terhadap kepengurusan DPD I Partai Golkar yang di pimpin oleh Syamsuar.
Kini, dengan kemenangan SF Harianto sebagai Wakil Gubernur Riau, muncul spekulasi apakah Golkar akan bersikap pragmatis dengan mendorongnya sebagai Ketua DPD I Partai Golkar Riau. Namun, Tito menilai ada ganjalan besar yang tidak bisa diabaikan: SF Harianto belum pernah menjadi pengurus Partai Golkar.
AD/ART vs. Pragmatisme Politik
Merujuk pada Petunjuk Pelaksanaan DPP Partai Golkar Nomor: JUKLAK-2/DPP/GOLKAR/II/2020, salah satu syarat utama untuk maju sebagai Ketua DPD I adalah pernah menjadi pengurus Partai Golkar di tingkat provinsi, kabupaten/kota, atau organisasi yang didirikan/didirikan oleh Partai Golkar selama satu periode penuh. Jika aturan ini dipegang teguh, maka kecil kemungkinan SF Harianto bisa mencalonkan diri.
“Apakah Partai Golkar akan mengabaikan AD/ART demi kepentingan politik sesaat? Ini yang harus dipertanyakan,” ujar Tito.
Menurutnya, ada kemungkinan besar Partai Golkar justru melakukan manuver politik dengan mencari celah untuk meloloskan SF Harianto. Salah satu skenario yang bisa terjadi adalah perubahan aturan di Musda berdasarkan rekomendasi DPP. Jika ini terjadi, maka pragmatisme akan semakin menonjol dalam dinamika Golkar Riau.
“Jika aturan internal partai diabaikan, itu akan semakin menegaskan bahwa Partai Golkar lebih mengutamakan kepentingan politik praktis ketimbang kaderisasi yang berkesinambungan,” lanjutnya.
Figur Kader Murni: Parisman Ikhwan dan Karmila Sari
Di tengah perdebatan soal SF Harianto, dua nama kader potensial yang disebut-sebut layak memimpin Golkar Riau adalah Parisman Ikhwan (Iwan Patah) dan Karmila Sari.
Parisman Ikhwan, saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Riau dan telah dua periode duduk di legislatif provinsi. Sementara itu, Karmila Sari adalah anggota DPR RI. Keduanya dianggap sebagai kader yang “lahir dari rahim Partai Golkar” dan telah teruji dalam dinamika politik partai.
“Golkar tidak kekurangan stok kader. Justru ada kepentingan segelintir orang yang ingin kembali menguasai partai dengan cara-cara pragmatis,” tegas Tito.
Menurutnya, partai politik yang sehat adalah yang mengutamakan kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan. Partai yang berhasil adalah yang memiliki kader dengan pemahaman kuat terhadap ideologi partai, bukan sekadar figur yang datang dari luar dengan kekuatan politik instan.
“Kita bisa melihat partai-partai lain yang sukses karena mereka mendorong kader internalnya untuk memimpin. Regenerasi berjalan, kaderisasi berjalan, dan ideologi tetap terjaga. Jika Golkar tidak melakukan hal yang sama, maka partai ini akan semakin tergerus,” paparnya.
Menanti Arah Golkar di Musda
Musda Partai Golkar Riau nanti akan menjadi ajang ujian bagi partai ini. Apakah akan tetap setia pada AD/ART dan mengusung kader internal, atau justru mengutamakan kepentingan jangka pendek dengan mengubah aturan demi figur tertentu?
“Jika Golkar tetap berpegang teguh pada aturan partai, maka peluang SF Harianto untuk maju sangat kecil. Sebaliknya, jika terjadi perubahan aturan yang menguntungkan dirinya, maka itu akan menjadi preseden buruk bagi Golkar Riau,” kata Tito.
Partai Golkar selama ini dikenal sebagai partai dengan DNA kekuasaan, namun pertanyaannya: apakah kekuasaan tersebut akan diperoleh dengan mengorbankan prinsip kaderisasi?
Di tengah persaingan politik yang semakin ketat, keputusan Partai Golkar dalam Musda nanti bukan hanya akan menentukan siapa pemimpin DPD I, tetapi juga arah dan masa depan partai di Riau.
“Apakah Golkar akan tetap kokoh dengan identitasnya sebagai partai kader, atau justru semakin pragmatis? Jawabannya ada di tangan para pemilik suara di Musda nanti,” tutup Tito. {}