DPP  

Negara Maju Serius Hadapi Problem Air dan Anomali Iklim, Dina Hidayana: Pemerintah RI Perlu Lebih Nasionalis-Progresif

Berita GolkarPakar Pertahanan dan Pangan, Dina Hidayana usai menghadiri Singapore International Water Week (SIWW) yang digelar 19-21 Juni 2024 di Marina Bay Sands Convention Center Singapura menyampaikan kepada Golkarpedia bahwa Indonesia harus segera berbenah dan mau keluar dari ‘zona nyaman’.

“Para pemimpin kita di semua tingkatan perlu segera merekonstruksi skema problem solving dan reforma anggaran dalam menghadapi problem-problem klasik sekaligus memitigasi fenomena baru yang mendera dunia, yakni perubahan iklim (climate change) dan krisis air. Indonesia darurat air bersih jangan sampai hanya menjadi slogan,” tutur Dina.

Dina Hidayana meyakini kemampuan Indonesia dalam mengoptimalkan sumber daya air dan perairan. Diperlukan political will dan konsepsi sistematis.

Selain itu, Menurut politisi perempuan Partai Golkar ini, paradigma konsumtif harus mampu ditransformasikan menjadi produsen yang kompetitif. Sementara negara-negara lain telah melahirkan berbagai karya-karya inovasi dalam mengatasi problem air, banjir dan pesisir hingga krisis pangan dan energi.

“Teknologi mereka bernilai ekonomi tinggi di tengah kepemilikan sumber daya yang sangat terbatas, ini sangat ironis,” urai Dina yang juga aktif sebagai peneliti, pengajar dan pembicara.

Ketua Depinas SOKSI ini mengingatkan anomali iklim dan problem menipisnya air konsumsi ini mesti direspons secara progresif.

“Dengan persiapan matang maka Indonesia bisa terhindar dari ancaman bencana kelaparan akut sekaligus kerusakan masif ekosistem alami yang bisa memicu lajunya konflik sosial dan disintegrasi bangsa. Bahkan pertanian dan peternakan sebagai sumber pangan pun membutuhkan jumlah air memadai untuk dapat memproduksi pangan sesuai target,” ujar Dina.

Penelitian yang dilakukan oleh Asian Development Bank (2020) menyebutkan bahwa ada kesenjangan serius antara ketersediaan dengan kebutuhan air bersih, terutama di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara yang mendominasi total penduduk Indonesia.

Sisi lain, ketiga pulau besar lainnya, yakni Kalimantan, Papua dan Sumatera memiliki potensi sumber air melimpah yang belum dioptimalkan karena masih minimnya teknologi dan SDM terkait. Bahkan total rerata potensi air di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara yang berisi lebih dari setengah penduduk Indonesia hanya berkisar 0,4% dari Qaverage Pulau Kalimantan, urai pegiat lingkungan alumnus Magister Resolusi Konflik UGM ini.

Dina memprediksi eskalasi penyusutan air bersih diantaranya disebabkan oleh minimnya edukasi dan sosialisasi otoritas terkait, kerusakan hutan yang tak terkendali, bencana lingkungan, pemanfaatan yang tidak efisien, tingginya penggunaan sumur bor/pompa (>37%) dan masih rendahnya kesadaran publik dalam penghematan dan mengoptimalkan sumber air secara tepat guna.

“Pemerintah dalam hal ini perlu mensistematiskan pendayagunaan potensi air sekaligus distribusi pemanfaatan pada dunia industri dan masyarakat luas secara adil dan berpegang pada prinsip ekosistem lestari,” saran Dina.

Indonesian Business Forum Meeting dalam event SIWW 2024 tersebut tampak membuka kran investor seluas-luasnya untuk memanfaatkan sumber daya Indonesia yang melimpah. Selaras dengan data RPJMN 2014-2019 yang menunjukkan kontribusi APBN hanya berkisar 33% dari total pemenuhan kebutuhan air minum.

“Namun pertanyaan fundamental, sudahkah para intelektual dan pengusaha domestik diorkestrasikan untuk menjadi garda terdepan dalam mengatasi persoalan krisis air bersih dan mitigasi perubahan iklim melalui pelibatan dan kebijakan terintegrasi,” Dina memantik pemikiran strategis para pihak.

Dina menyarankan keseriusan optimalisasi sumber daya nasional dengan meningkatkan kemampuan SDM lokal dalam mengelola dan menciptakan teknologi mutakhir, sehingga air dan perairan luas yang kita miliki dapat sebesar-besarnya dimanfaatkan dan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia sebagaimana amanah konstitusi.

“Jalur transportasi laut dan selat Indonesia yang menjadi perlintasan strategis perdagangan internasional perlu dipikirkan untuk menjadi kawasan bernilai ekonomi tinggi dengan kebijakan progresif sebagai pendulang devisa,” pungkas alumnus Doktoral Strategi Pertahanan Unhan RI ini. {redaksi}